Foto: hipwee |
Kawula muda sering dengan idealisme dan semangatnya yang masih membara. Tak sedikit gagasan dan disalurkan memunculkan banyak perubahan.
Di sisi lain, tak sedikit pula banyak pemuda yang patah arang. Bayangannya tentang masa depan di masa Quarter Life Crisis (QLC) membuat mereka mudah terbawa arus, suka overthinking dan terlampau berlebihan dalam menanggapi suatu hal.
Perayaan tahun baru 2022 sudah terlewat. Namun, tak ada salahnya jika saya mengulas sedikit tentangnya. Sepertinya, banyak dari kita yang terlalu euforia menyambutnya. Pelbagai agenda dilaksanakan di malam tahun baru itu. Bercengkrama, berkumpul, bakar-bakaran, camping, touring sampai healing-healing pun dirayakan. Sekadar nostalgia atau temu kangen untuk mengambil jeda dari kesibukan harian dan badai pandemi covid-19 yang membosankan.
Padahal tahun baru tak lebih dari perubahan angka di kalender. Lantas apa yang orang-orang begitu antusias menyambut tahun baru?
Momentum tahun baru biasanya digunakan untuk mengawali hal baru. Sebuah perayaan yang diiringi dengan panjatan harapan terus didengungkan. Resolusi dan rencana menjadi harga mati yang mesti direncanakan bagi sebagian orang.
Pergantian tahun sudah semestinya diiringi dengan perubahan pola pikir dan perilaku ke arah yang lebih baik. Namun, pada kenyataannya, itu hanya euforia sesaat. Perayaan terlewat, resolusi dan gagasan tak sampai dirawat.
Bagai angin lalu, sambutan tahun baru hanya menjadi pergantian kalender baru. Sikap, gagasan, dan pemikiran tak ada yang baru. Bahkan, kebiasaan dan budaya baru yang diciptakan, justru terlihat alay dan tidak membawa perubahan.
Bisa kita lihat, orang-orang generasi z yang terlalu lebay dalam menanggapi suatu hal. Apa-apa dibilang toxic, menyerang mental illness, dikit-dikit ngeluh, sambat, curhat di medsos, pansos, alay. Ujung-ujungnya istilah-istilah baru pun bermunculan.
Mendapat teguran dari bos atau pimpinan, misalnya, mereka yang cenderung lemah mental akan merasa lingkungan kerjanya toxic dan tidak aware terhadap mental health karyawan. Atau seorang kawan yang mencoba menghibur sahabatnya dengan kalimat-kalimat positif, justru dianggap menambah masalah karena ucapannya dikira toxic positivity.
Bisa jadi, bukan lingkungan kerja atau teman yang terlampau toxic. Bisa juga karena kita terlalu terbawa treat di twitter atau Instagram. Terlampau sering mendengarkan podcast rintik sedu, rehat Kunto Aji atau postingan-postingan yang mendukung dan memaklumi ke-alay-an seperti ini.
Ubah mindset
Setiap orang punya lingkaran pengetahuannya masing-masing. Dan ketika lingkaran itu terlalu sempit, maka ia akan menggunakan kesempitan pikiran itu untuk berpikir dan bertindak. Pemikiran dan pola pikir yang sempit ini tentunya akan merugikan orang lain ketika kita sudah bersosial atau bertemu orang lain.
Mengubah paradigma bisa menjadi alternatif. Mencoba memandang lebih luas dan melebarkan lingkar pengetahuan kita. Ini bisa dilakukan dengan seiringnya kita bertemu orang baru, ngobrol, diskusi, dan tentunya membaca buku. Boleh jadi apa yang kita pelajari di kelas sudah tidak relevan diterapkan di kehidupan nyata. Hal yang justru bisa pelajari adalah bagaimana kita bersosial dan memperlakukan orang lain (memanusiakan manusia) sebagaimana mestinya.
Saya jadi teringat ketika diskusi buku di Warkoba tempo hari. Bagaimana mereka membincangkan mengapa banyak anak muda yang hanya bisa menuntut tanpa memberikan solusi. Bagaimana generasi sekarang hanya bisa menyalahkan orang atas kesulitan yang dialaminya. Bagaimana anak sekarang yang lebih mudah sambat daripada usahanya?
Saat itu, dalam hati saya langsung menertawakan diri saya sendiri karena pernah di posisi itu. Dari diskusi itu, saya baru menyadari satu hal, bahwa sebelum kita melakukan dan mengalaminya sendiri, kita tidak akan tahu bagaimana kesulitan-kesulitan itu ternyata membentuk karakter kita menjadi lebih baik.
Sekali lagi, menjadi penting untuk memahami secara kontekstual apapun yang kita lihat. Entah itu di lingkungan keluarga kita, kuliah kita, circle pertemanan kita, pekerjaan kita, atau yang lainnya. Dari situ kita akan lebih terbantu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas diri kita secara maksimal.
Wes mboh ruwett,, intine mung siji, urip kuwi sejatine mung mampir ngguyu karo ngopi.
Salam sebats dulu,,,
Jepara, 12/01/2022
Hasyim Asnawi
Komentar
Posting Komentar