Langsung ke konten utama

Sinetron dan Tanggung Jawab Moral Media Indonesia



Belakangan ini dunia maya sedang digencarkan oleh perdebatan para warganet terhadap sinetron yang ditayangkan oleh salah satu media ternama di Indonesia. Sinetron yang mengisahkan tentang seorang gadis bernama Zahra yang di bawah umur (15 tahun) yang terpaksa menikah dengan pria berumur 39 tahun dan beristri dua.

Sempat menjadi tranding topik di twitter dengan tagar Suara Hati Istri Zahra pada 1 Juni 2021 , tayangan ini pun menuai banyak hujatan dari warganet. Sinetron bertajuk Suara Hati Istri - Zahra yang ditayangkan stasiun TV Indosiar ini seakan memberikan tontonan kepada publik praktik pedofilia, pelecehan seksual, penurunan martabat perempuan, perkawinan anak, dan sebagainya. Dengan dibalut maskulinitas dari sang suami, seolah-olah mempertontonan bahwa laki-laki bisa bertindak apa saja, dan itu diwajarkan.

Belum lagi, konflik memperebutkan suami yang didukung oleh mertua yang bersifat antagonis, seakan semakin menunjukkan perempuan tidak bisa apa-apa dan selalu bergantung pada laki-laki. hal ini juga didukung oleh pemeran Zahra yang selalu lemah dan tidak berdaya, mengajarkan bahwa sesama perempuan tidak bisa akur, saling menjatuhkan, dan tidak mampu melakukan perlawanan dan membela diri.

Selain itu, yang menjadi polemik dan penuaian banyak kontra dari masyarakat adalah penayangan adegan seksualitas yang dibalut sinetron. Penayangan adagan dewasa semacam perciuman, belaian, dan sentuhan yang dilakukan suami kepada Zahra. Tayangan ini seperti mengajarkan masyarakat bahwa menikahi perempuan di bawah umur itu diperbolehkan, bahwa perempuan itu hanya difungsikan untuk memproduksi anak, pun melakukan adegan dewasa di atas ranjang.

Menunggu Aduan

Lagi-lagi, tayangan seperti ini memperburuk citra masyarakat terhadap sinetron. Ketika media sudah tidak bisa menghadirkan tayangan yang berkualitas, sinetron seperti inilah yang menjadi konsumsi publik. Padahal, sudah banyak tokoh publik dan media masa yang menyoroti sinetron ini. Jika ditarik benang merah, mereka mempertanyakan dimana posisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyoroti sinetron ini?

Banyak warganet yang menyebut sinetron ini sebagai normalisasi pedofilia (minat seksual terhadap anak – red). Mengutip dari cnnindonesia.com, setelah mendapat aduan dari warganet, pihak KPI menyatakan akan mengganti pemeran Zahra. Disebutkan, pihak KPI akan mengevaluasi muatan materi atau cerita dan menyesuaikan peran dengan umur sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Masyarakat sudah bosan dengan tayangan sinetron yang dianggap tak bermutu ini, bagaimana tidak, dalam beberapa tahun terakhir, tayangan serial seperti ini seakan memperbodoh masyarakat. Mulai dari sinetron adzab yang dinilai tak masuk akal, sinetron pelakor yang selalu dinyanyikan netizen lewat liriknya ku menangis. Terakhir, sinetron Zahra yang menormalisasikan pedofilia. Lantas, bagaimana apa tujuan KPI menayangkan sinetron-sinetron tersebut? Apa hanya untuk mencari rating yang bagus atau untuk tujuan komersial belaka?

Sinetron memang sering menuai pro dan kontra dari masyarakat. Tayangan yang dimaksudkan sebagai hiburan ini sering mendapat kritik negatif karena ketidaksesuaiannya dengan kehidupan nyata, bahkan minim nilai moril yang disisipkan.

Sejatinya, fungsi KPI adalah sebagai pengawas sekaligus penyorot/pemfilter tayangan-tayangan siaran Televisi di Indonesia. Namun, melihat tayangan yang ada saat ini, banyak yang mempertanyakan apakah pihak KPI sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik atau belum. Kendati demikian, ada pula yang mewajarkan tontonan yang beredar. Dan menyalahkan masyarakat dengan dalih “kalau tidak suka ya jangan nonton, pindah chanel aja”. Padahal sudah selayaknya tugas KPI adalah menyaring tayangan yang berkualitas untuk masyarakat. Dengan begitu, tidak akan ada lagi saling menghujat atau menyalahkan.

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini akan tercapai manakala semua pihak bersinergi dengan baik di masing-masing bidangnya. Begitupun dengan KPI yang bertugas menghadirkan tayangan-tayangan berkualitas untuk anak-anak bangsa. Bagaimanapun juga, tontonan yang dihadirkan juga harus menjadi tuntunan. Salah satu cara nyata mencerdaskan anak bangsa adalah dengan memberikan edukasi lewat tayangan di televisi, memberikan tontonan yang mencerminkan karakter bangsa, membuat konten yang kreatif dan edukatif, sesuai dengan batasan usia dan jam tayang, tontonan yang mendidik, serta mengurangi intensitas tayangan seperti sinetron dan drama FTV.

Di sisi lain, masyarakat juga berperan besar. Bagaimana melakukan pengawasan terhadap KPI dan tayangan-tayangan yang tidak mendidik. Termasuk, memberikan edukasi kepada anggota keluarga, anak, dan memilih tontonan yang berkualitas. Kuncinya adalah bersinergi, baik itu pemerintah, pihak yang bersangkutan, masyarakat, termasuk kita saling mengingatkan. Agar tidak ada lagi sinetron-sinetron semacam ini. Pun berusaha untuk menciptakan tontonan yang cerdas, edukatif, dan positif. Sehingga tayangan di tevisi tidak hanya sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan untuk masyarakat Indonesia, semoga.

 

Kudus, 19/07/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s