Langsung ke konten utama

Stop mengucap toxic positivity pada temanmu

sumber: https://osc.medcom.id/

Pernah mendengar kalimat “Yahh, gitu aja menyerah” atau “kamu itu lebih beruntung, masalah yang kuhadapi jauh lebih berat darimu” dari salah seorang temanmu? Atau kamu pernah mengucapkan hal itu kepada temanmu? Jika iya, sebaiknya segera hentikan. Karena kamu telah mengucapkan toxic positivity yang bisa menyakiti hati temanmu.

Lalu, apa itu toxic positivity? Secara umum, toxic positivity dapat diartikan sebagai ungkapan positif yang diucapkan kepada orang lain agar tetap berpikir atau berlaku positif. Istilah yang mulai populer pada awal tahun 2019 ini mengandung makna agar lawan bicara diharapkan tetap berpikir positif dalam memandang kehidupan. Pada sebagian orang, mungkin kata “jangan menyerah” atau “kamu bisa kok” mungkin akan efektif untuk memicu semangat seseorang. Namun, kata tersebut bisa saja memicu gangguan psikis jika diucapkan pada orang yang sedang menghadapi berbagai masalah yang pelik.

Belakangan ini istilah toxic positivity mmang ramai diperbincangkan banyak orang. Melansir dari Tirto.id (26/02/2019), dr. Jiemi Ardian, psikiater RS Muwardi Solo menjelaskan Toxic Positivity melalui unggahan instagramnya. Disebutkan, istilah ini mengacu pada situasi dimana seseorang secara terus menerus mendorong kenalannya yang sedang tertimpa masalah untuk melihat sisi baik dari kehidupan, tanpa mempertimbangkan perasaan kenalannya atau memberi kesempatan kenalannya untuk meluapkan perasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa ungkapan positif tidak selalu membawa kebaikan pada orang yang diajak bicara. Sebaliknya justru akan memperkeruh keadaan jika tidak memahami perasaan lawan bicara.

Dalam lingkungan yang lebih sederhana, kampus misalnya, ungkapan-ungkapan toxic positivity ini sering dilontarkan kepada temannya. Mahasiswa yang identik dengan tugas dan deadline pastinya mudah terpengaruh ungkapan toxic positivity jika kondisi emosionalnya tidak baik.

Toxic positivity sering kali diucapkan kepada orang yang sedang berbagi cerita tentang masalah hidupnya. Bermaksud ingin memberikan solusi, terkadang orang tanpa sadar akan melontarkan ucapan-ucapan yang mungkin bisa menyakiti hati temannya. Alih-alih memberikan solusi, ucapan-ucapan positif yang diberikan kepada orang yang menghadapi masalah dapat direspon secara negatif karena ucapan tersebut dapat menjadi racun bagi penerimanya.

Psychology Today menyebutkan bahwa menolak atau berusaha menyangkal emosi negatif dalam diri justru dapat memicu emosi yang lebih besar. Hal ini dikarenakan energi negatif dalam diri tidak terkontrol akibat penyangkalan tadi. Secara sederhana, hal ini dapat digambarkan ketika seseorang merasa sangat sedih dan menangis. Perasaan sedih biasanya akan cenderung lega setelah selesai menangis. Ketika perasaan tersebut dipendam dan berusaha untuk tidak menangis dapat memunculkan perasaan sesak, kalut, atau bahkan dapat timbul perasaan-perasaan negatif lainnya.

 

Perubahan Mental

Toxic positivity dinilai buruk bagi kesehatan manusia karena berdampak pada kesehatan mental, baik secara langsung maupun tidak langsung. Carl Jung mendefinisikan ada tiga poin yang dapat dijadikan garis besar mengapa toxic positivity ini dapat berakibat buruk pada kesehatan mental. Pertama, rasa malu. Memaksakan pandangan positif dari orang lain berarti berdiam diri mengikuti kemauan mereka. Sebagian besar korban dari toxic positivity ini lebih suka diam karena tidak ingin menjadi penghambat bagi orang lain. Rasa malu dan perasaan tidak nyaman yang terus menerus dipendam inilah yang sering kali menjadikan racun bagi kesehatan mental si korban.

Kedua, emosi yang tertekan. Beberapa studi psikologis menunjukkan bahwa menyembunyikan atau menyangkal perasaan menyebabkan lebih banyak tekanan pada tubuh dan meningkatkan kesulitan untuk menghindari pikiran dan perasaan yang menyusahkan.

Ketiga, isolasi dan masalah relasional lainnya. Dalam menyangkal kebenaran, manusia akan berusaha membohongi diri sendiri dan orang lain. Mereka akan kehilangan hubungan dengan diri sendiri, dan membuat orang lain sulit untuk menyesuaikan diri dengannya.

Seperti penjelasan sebelumnya, toxic positivity dapat memberikan pengaruh negatif terhadap penerimanya. Jika terus dibiarkan atau dipendam, bukan tidak mungkin juga berpengaruh pada kepribadian orang tersebut. sebagai contoh orang yang semula periang dan terbuka hanya karena ucapan toxic positivity dari temannya dapat menjadikan orang tersebut menjadi pendiam dan pemurung. Perubahan kepribadian yang tiba-tiba pada diri seseorang ini seringkali memicu konflik dengan orang lain. Seperti sifat pemalu, dengki, angkuh, sombong, kasar, melawan aturan dan lainnya.

Untuk itu, sesegera mungkin untuk menghindari dan meredakan toxic opsitivity, salah satunya  dengan menerima emosi negatif. Maksudnya ialah emosi negatif tidak selamanya membawa dampak buruk jika diterima dengan baik.

Sebagai contoh ketika kita cemas tidak dapat menyelesaikan tugas atau mengumpulkan tugas tepat waktu, kita akan mencari solusi bagaimana mengatasi kecemasan tersebut. keadaan ini akan membuat kita berpikir kreatif dan ekstra bagaimana agar kita dapat menyelesaikan tugas tersebut.

Selain menerima emosi negatif, seseorang dapat meminimalisir toxic positivity dengan menghindari ucapan-ucapan yang dapat menyakiti perasaan orang lain. Dengan memilih dan memilah kata yang tepat, kita akan dapat menghargai perasaan orang lain. hal itu akan sangat membantu daripada kita melontarkan kata-kata positif yang justru semakin membuat teman kita tertekan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s