foto: hasyim |
Judul : Matinya Kebebasan Berpendapat; Ketika
Para Korban UU ITE Bertutur
Penulis : Zakki Amali, dkk
Penerbit : Parist Penerbit
Cetakan : Pertama, Juni 2021
Tebal : xiv + 174 halaman
ISBN : 978-602-0864-78-5
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi bukti bahwa pelaksanaan hukum orde baru masih terbawa sampai sekarang. UU ITE seperti semacam pisau bermata dua, menjadi bumerang, atau bola api yang bisa menyerang siapa saja. Terbukti, kisah para korban yang ditulis di buku ini mengubah 180 derajat hidup mereka, dari kehidupan normal dan tenang, berubah menjadi penuh tekanan dan masalah. UU ITE juga menunjukkan bahwasanya sesama manusia bisa menyakiti hanya karena masalah kecil. Meski tidak mengenal pelapor, atau secara tidak bermaksud menyakiti pihak manapun, nyatanya bisa dikasuskan.
UU ITE juga menjadi titik api krisis kemanusiaan yang diprediksi akan semakin langka. Dikisahkan dalam buku ini kasusnya Vivi Nathalia, yang bermaksud untuk menagih hutang kakak iparnya di media sosial. Namun, karena merasa dirugikan, Natalia dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alih-alih kakak iparnya sadar dan membayar hutang 450 juta rupiah, Nathalia harus merundung di pengadilan. Meskipun akhirnya pengacara dan tim advokasi Nahtalia memenangkan sidang, tapi sebaiknya kasus tersebut tidaklah patut untuk digiring ke ranah hukum.
Kisah Muhadkdy Acho,
aktor plus komika yang tinggal di apartemen Green Pramuka City di Jakarta
Pusat. Semula hidupnya baik-baik saja, menempati sebuah unit apartemen bersama
istrinya. Masalah mulai menerpanya ketika pihak pengembang menerapkan peraturan
baru yang memangkas berbagai fasilitas. Sebagai konsumen, lantas ia
menyampaikan kritik di Twitter dan blog pribadinya dengan maksud mendapat
perbaikan nantinya. Nahasnya hal itu justru direspon buruk oleh pihak apartemen
sebagai kasus pencemaran nama baik.
Baginya, konsumen
seolah-olah dilarang menyampaikan kritik dan mengeluh. Kasus Acho juga
membuktikan bahwa UU ITE bekerja lewat penafsiran tunggal dari aparat penegak
hukum, tidak ada ruang bagi korban untuk bersuara, termasuk hak-hak konsumen
yang dikebiri.
Kebanyakan para korban
bermasalah dengan kasus yang sama, kasus pencemaran nama paik, pasal 27 ayat 3
UU ITE. Penyebabnya beragam, ada yang lewat status Twitter dan Facebook,
mengirim pesan singkat ke grup WhatsApp.
UU ITE seakan mematikan
kebebasan berpendapat seseorang. Menyampaikan kritik untuk perbaikan,
menegakkan keadilan sama halnya dengan menjerumuskan ke lubang kesengsaraan.
Seperti yang dialami Furqon Ermansyah (Rudy Lombok) dan Saiful Mahdi. Alih-alih
kritiknya didengar, mereka malah dipenjarakan. Dari sini kita tahu tiga hal;
pertama, kritik tidak boleh (di) berhenti (kan) oleh undang-undang, karena
stigma salah pasti dibebankan kepada korban. Kedua, cara penyampaian kritik
harus berhati-hati agar tidak terjerat pasal karet UU ITE, dan yang ketiga,
buruknya pemahaman aparat penegak hukum soal UU ITE.
Berita Berujung Cilaka
Menjadi jurnalis memang
pekerjaan yang cukup menantang, apalagi ketika seorang jurnalis berhadapan
dengan orang besar, menulis berita bisa berujung penjara. Ini yang terjadi pada
Diananta Putra Sumedi, Pemimpin Redaksi sekaligus pendiri media daring Banjarhits.id.
Karena berita berjudul "Lahan Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda
Kalsel" yang diterbitkan pada 8 November 2019, Diananta harus mendekam di
penjara selama hampir setahun karena berurusan dengan UU ITE. Belum lagi,
perlakuan yang buruk dan diskriminasi yang ia alami di penjara.
Bab terakhir dalam buku
ini mengisahkan kasus Baiq Nuril Maknun, guru honorer SMAN 7 Mataram yang
dilaporkan karena mencemarkan nama baik Muslim, kepala sekolah di sana.
Padahal, Baiq sejatinya adalah korban kekerasan seksual oleh Muslim, yang
diminta mendengar cerita mesum setiap Baiq ke ruangannya.
Karena tak kuasa, Baiq
pun merekam percakapan itu, dan rekannya yang melaporkannya. Tidak mendapat
perlindungan, Baiq justru dituding menyebarkan konten asusila oleh Muslim,
sehingga dianggap melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE.
"Selama lima tahun
saya mengarungi rumitnya proses hukum yang menempatkan saya sebagai penyebar
konten asusila alih-alih sebagai korban pelecehan seksual. Saya sudah kenyang
proses hukum". (Hlm. 160).
Tulisan-tulisan dalam
buku ini ingin menekankan bahwa UU ITE bisa memenjarakan siapa saja. Selama
pasal karet itu masih ada, undang-undang ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja
oleh sekelompok orang. Tidak sedikit, mereka yang tidak bersalah menjadi korban
dan kriminalisasi UU ITE.
Dampak UU ITE sangat
mengerikan, korban bisa mengalami trauma dan chiling effect yang berlebihan,
sebuah situasi ketakutan dalam diri atas kebebasan berpendapat di media sosial.
Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik para korban, tetapi juga
kesehatan mental dan psikis. Orang menjadi takut dan tidak berani mengungkapkan
kebenaran, atau meyakini isi hati karena takut dibui.
Pada umumnya, pelaku
kejahatan akan diperlakukan layaknya penjahat di penjara. Namun, berbeda dengan
para korban pasal karet UU ITE ini, meskipun mereka tidak bersalah, kebanyakan
diperlakukan seperti narapidana yang mempunyai kasus berat, mendapatkan
diskriminasi, dipersulit dalam persidangan, dan kejanggalan-kejanggalan yang
tidak memihak pada korban.
Meskipun begitu, di buku
ini, saya masih sering menjumpai istilah asing yang tidak disertai keterangan
yang kemungkinan belum banyak dipahami oleh orang awam. Di beberapa bab, juga
masih terdapat typo atau salah ketik yang mungkin kurang enak dibaca. Kiranya
itu sedikit kekurangan dari buku ini.
Namun, secara keseluruhan
buku ini masih mudah dipahami. Cerita-cerita yang disampaikan ditulis secara
nyata, seakan pembaca ikut terlibat di dalamnya. Buku ini mengingatkan kita
untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan kritik dan lebih bijak menggunakan
sosial media. Buku ini juga sangat pas dibaca oleh mahasiswa, dosen, atau
pemangku kebijakan. Sehingga pasal-pasal karet dalam UU ITE bisa direvisi,
bahkan dihapuskan. Semoga.
artikel ini sudah dipublikasikan pada majalah paradigma edisi 36
Komentar
Posting Komentar