Langsung ke konten utama

Tentang Pemilwa dan Nalar Berpolitik Mahasiswa

ilustrasi: hasyim


Setiap akhir periode, pemilwa (pemilihan perwakilan mahasiswa) selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa dari berbagai kampus. Agenda rutin yang dilaksanakan setahun sekali ini bertujuan untuk regenerasi ketua Dema dan Wakilnya yang baru, baik itu  di tingkat universitas maupun tingkat fakultas.

Pemilwa merupakan ajang bergengsi bagi sebagian besar mahasiswa.  Digadang-gadang sebagai representasi pemilihan umum di kehidupan nyata, pemilwa selalu menyimpan cerita menarik setiap tahunnya. Entah itu dari dari segi sistem pemilihannya, siapa calon kandidatnya, hingga bagaimana mahasiswa merespon adanya pemilwa.

Di IAIN Kudus sendiri misalnya, pemilwa tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 2020 besok, secara serentak. Meskipun masih dalam suasana pandemi, pemilwa akan tetap dilaksanakan secara langsung dengan membagi Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi beberapa tempat. Jika pada pewilwa tahun sebelum-sebelumnya pihak penyelenggara hanya menyediakan 6 tps, pada pewilna kali ini jumlah tps diperbanyak.

Berdasarkan penuturan Atmimlana Nurrona, salah satu paniti Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), pada tahun ini akan disediakan 16 tps. “Selain untuk mempersingkat waktu, juga untuk menghindari terjadinya kerumunan saat pemungutan suara,” katanya saat ditemui Paradigma.

Mendengar adanya pemilwa ini, seorang kawan sempat mengirim pesan WhatsApp kepadaku, kira-kira seperti ini bunyi pesannya. “Ini kan sudah libur semester, apakah relevan jika pemilwa dilaksanakan saat itu juga, bagaimana dengan mahasiswa yang berasal dari luar daerah, bagaimana suara mereka bisa terwakilkan?”

Saya yang kurang begitu memahami bagaimana teknisnya, mencoba menghubungi Mukhis, Ketua pelaksana KPUM, untuk mencari jawaban. Saat ditanya mengapa tidak meggunakan sistem daring dalam pemilwa, ia mengatakan  akan lebih mudah terjadi kecurangan. Menurutnya pemilwa online justru tidak aman karena bisa di-hack. “Online banyak celah sehingga data rawan dimanupulasi,” ungkapnya.

Sementara terkait mahasiswa yang berada di luar daerah, pihak KPUM mengaku hal tersebut di luar kewenangan panitia. Menurutnya itu sudah menjadi konsekuensi bagi mereka (red=mahasiswa) dan pihak KPUM juga tidak bisa memfasilitasi tps pada setiap daerah.

 

Warna-warni pemilwa

Pemilwa memang sangat rentan dijadikan ajang kontestasi politik pihak-pihak tertentu. Bagaimana tidak, jika semua kandidat calon berasal dari kader yang sama, atau pihak panitia penyelenggara yang berasal dari satu oganisasi dengan kandidatnya, hal ini tentu sangat riskan apabila terjadi manipulasi data atau settingan dalam pemilwa. Semoga saja praduga ini tidak terjadi dan panitia penyelenggara dapat menjalankan tugasnya secara transparan dan bertanggung jawab, sesuai prinsip pemilu yang luberjurdil.

Terkait pemilwa, ada berbagai tanggapan mahasiswa yang cukup menarik untuk diangkat. Bagi mereka mahasiswa yang apatis (pasif), pemilwa hanya ditanggapi sebagai hal yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak dipedulikan. Mereka lebih suka memikirkan atau menghabiskan waktu untuk urusan dan kepentingannya sendiri.

Hal ini sama persis seperti yang diungkapkan oleh Abdul Rosid, mahasiswa program studi Tadris IPS semester lima. Menurutnya, pemilwa dari tahun ke tahun selalu sama, tidak ada perubahan yang cukup berarti setelah calon terpilih. Tahun ini hanya teknisnya saja yang berbeda.

“mending saya bekerja atau pushrank saja, lha wong sudah enak-enak libur kuliah disuruh pergi ke kampus,” katanya kepada Paradigma.

Hal berbeda justru diungkapkan oleh Winda Meilina, Mahasiswa PGMI semester lima, yang menganggap penting adanya pemilwa ini. Menurut Winda meskipun dalam suasana pandemi, mahasiwa haus menggunakan hak suaranya sebaik mungkin untuk memilih calon presma.

 ini menyangkut masa depan kampus selanjutnya, bakal ada gebrakan apa nih dari pemimpin yang terpilih nanti? Selain itu, pemilwa ini juga pemilwa ini juga kan bisa dijadikan tolok ukur kualitas mahasiswa kita,” ungkapnya.

 

Kembali Tinjau ulang

Kembali ke persoalan diatas, penyelenggaraan pemilwa pada tahun ini sepertinya memang perlu ditinjau ulang. Baik itu dari sistem pemilihannya, proses kampanye, hingga teknis perhitungan suaranya. Bagaimana pihak panitia dapat mempersiapkan kemugkinan terburuknya, bagaimana ketika hanya sedikit mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya, atau bagaimana ketika total suara yang memilih kurang dari separuh dari jumlah keseluruhan mahasiswa.

Jika mengaca pada sistem pemilwa di kampus-kampus lain yang sudah lebih dulu menerapkan pemilwa daring, sudah selayaknya sistem daring perlu dipertimbangkan untuk tahun depan. Mengingat kemajuan teknologi yang semakin pesat, pemilwa secara daring dipandang lebih efektif dari segi manapun. Meskipun dalam menjalankannya memerlukan persiapan yang lebih matang, seperti memperkuat keamanan untuk menghindari manipulasi data, bekerjasama dengan pihak TIPD bisa menjadi alternatif.

Sistem pemilwa daring dirasa dapat mempersingkat waku, tempat, biaya, tenaga, dan lebih efektif untuk menjaring hak suara mahasiswa. Sederhananya, pemilwa daring dapat diakses dari mana saja dan kapan saja.

Seperti yang sudah disampaikan di awal, pemilwa merupakan cerminan kehidupan politik di dunia nyata.  Berhasil tidaknya penyelenggaraan pemilwa akan dijadikan tolok ukur bagaiman mekanisme politik yang ada di kampus. Namun, tetap saja bergantung pada pilihan masing-masing mahasiswa itu sendiri.

Karena, pada dasarnya pemilwa adalah hak semua mahasiswa. Apapun pilihannya, mahasiswa itu sendiri yang berhak menentukan.  Mereka bebas mau menggunakan hak pilihnya atau tidak, Asalkan, mereka punya dasar atau alasan yang jelas ketika mendukung, golput atau memilih menolak adanya pemilwa sekalipun.

Pemilwa bukan sekadar perebutan jabatan satu periode saja, lebih dari itu, pemilwa bertujuan untuk memilih pemimpin yang tegas, jujur dan mampu bijaksana terhadap tanggung jawab yang diberikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s