ilustrasi: zsaitsits |
"Ternyata, hidup hanya perihal rasan-rasan. Selebihnya, hanya soal nahan dan menyatakan perasaan."
Adalah kata yang aku kutip dari kawan lama semasa SMA dulu, yang kini sudah menjadi seorang seniman, sebut saja hisam al-gibran.
Bila dipikir-pikir, ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh mbah hisam, sapaan akrabnya. Sadar atau tidak, kita sendiri sudah terlampau sering menerapkan metode tradisional ini untuk sekadar mengisi atau meramaikan obrolan.
Rasan-rasan kepada siapa saja yang ada dalam pikiran, tanpa butuh waktu lama, mulut kita tak terkendali melontarkan guneman renyah yang meramaikan forum.
Perihal apa saja, rasan-rasan kepada tetangga, kawan, dosen, organisasi, masa depan, keluarga, pekerjaan, bahkan kepada awake dewe tak luput dari lingkaran ngerasani. Boleh dibilang efektif boleh juga tidak. Tergantung dari mana sisi yang kita ambil, apakah hanya untuk mengisi obrolan, atau mengambil sisi positif dari metode satu ini.
Ambil contoh, awak dewe ngerasani keluhan mahasiswa atau kebijakan kampus. Tentunya, lewat rasan-rasan ini kita bisa menganalisis poin-poin yang terjadi, sebab-akibat, urgensi, manfaat, atau hal-hal kecil yang sering luput dari pembahasan. Agaknya, ini bisa jadi pemantik obrolan atau diskusi kecil-kecilan.
Sisi negatifnya, ternyata rasan-rasan ini juga membawa iktikad yang kurang baik bagi awak dewe yang kurang bisa mengendalikan perasaan. Ujungnya, hanya menciptakan sifat nggrundel dalam hati dan saling menyalahkan liyan, tanpa mempertimbangkan baik buruknya kedepan.
Kalau boleh usul, saya akan menyarankan untuk metode yang cukup efektif untuk mengakali sisi negatif dari rasan-rasan. Contohnya dengan menerapkan "empan papan" atau berlaku adil sejak dalam pikiran.
Kalau tidak, hati-hati, ternyata pikiran bisa menyesatkan kita. Sebuah teori mengatakan bahwa otak mempunyai pikiran yang melindungi si pemiliknya biar tetap baik-baik saja. Misalnya, munculnya rasa overthinking ketika kita menulis atau presentasi. Otak mengkhawatirkan diri kita dari hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga memunculkan rasa grogi, gugup, atau tidak percaya diri ketika menulis. Maka dari itu, otak juga musti dikendalikan. Caranya adalah dengan mengabaikan hal-hal yang dikhawatirkan oleh otak kita.
Kembali ke soal rasan-rasan dengan metode empan papan, awak dewe perlu berlaku adil sejak dalam pikiran. Caranya, dengan menimbang baik buruk dan pas tidaknya obrolan yang menjadi bahan rasan-rasan. Awak dewe juga perlu memikirkan, apakah manfaat yang bakal didapat dari kegiatan rasan-rasan kepada liyan.
Ketika empan papan sudah diterapkan sejak dalam pikiran, paling tidak, akan yang awak dewe kerjakan atau lakukan, akan sesuai atau pas pada tempatnya. Bagaimana awak dewe bersikap dan memperlakukan orang lain, memposisikan diri pada papannya, menyesuaikan obrolan, atau hal-hal kecil yang sering diabaikan, semisal cara berbicara, cara berpakaian, cara menghargai orang lain, dan hal-hal remeh lainnya.
Ini pun, bisa kita terapkan dalam bersosial, berjejaring dan berorganisasi. Makin ke sini makin ke sana, orang-orang bahkan awak dewe mulai mencampuradukkan antara idealisme, sosial atau urusan perut mereka.
Karena tidak menerapkan empan papan, urusan sosial dibawa ke urusan perut. Contohnya ketika njagong atau diskusi malah menawarkan dagangan, memanfaatkan relasi dan kawan hanya untuk urusan perut doang, ngono kuwi etis ndak sih?
Contoh lagi, kekeh pada idealisme ketika bersosial atau berorganisasi. Sifat-sifat individualis dan tidak bisa menerima pendapat orang lain tentunya bisa merusak jejaring dan sosial kita.
Makanya, awak dewe musti pandai-pandai menempatkan idealisme, urusan perut dan sosial sesuai tempatnya, sing empan papan ngunu lho,,, yaa gaes yaa,,, nek ndak setuju, boleh-boleh saja, sing penting ojo lali rasan-rasan, hehe....
Jepara, 27/04/2022
Hasyim Asnawi
Komentar
Posting Komentar