sumber: pixabay.com |
Duduk termenung
memandangi sebuah benda kecil yang bersinar sambil sesekali senyum-senyum
sendiri. Kecanduanku pada alat elektronik yang sering kita kenal dengan gadget
ini sudah tidak dapat dipungkiri. Berjam-jam menghabiskan waktu sampai larut
malam pun kulakukan setiap hari hanya untuk memuaskan harsatku bermain game.
Tanpa sadar aku sering mengabaikan hal-hal yang ada di sekitarku. Tanpa sadar
aku juga sudah tergolong dalam generasi yang hobinya menunduk ini.
Budaya milenialisme
Di era yang serba
canggih ini, masyarakat dari berbagai kalangan seperti terjangkit virus yang tidak
ada obatnya. Virus gadget dan internet ini tidak tidak kenal usia baik tua
maupun muda, anak kecil maupun orang dewasa. Bisa kita lihat di sekitar kita,
atu bahkan kita sendiri yang mengalaminya. Misalnya ketika berkumpul bersama
teman, tak sedikit yang hanya menyapa lalu memandangi ponselnya kembali. Saat
berkumpul bersama keluarga, suasana terasa dingin karena kita semua sibuk
dengan gawainya, saat ditempat umum, kita akan melewatkan kejadian-kejadian
sekitar karena mata kita selalu tertuju pada ponsel mungilnya.
Perilaku ini sudah
membudaya diantara kita. Generasi milenial memang dikenal dengan generasi yang lebih
suka dengan hal-hal instan, praktis, cepat dan mudah. Sifat ini dimanfaatkan pasangan
gadget dan teknologi untuk memikat generasi milenial. Dengan segala konten
mengasyikannya, gadget sukses besar menarik hati generasi milenial sehingga
mereka sulit berpaling dari gadgetnya.
Secara fungsional,
gadget memang memberikan segudang manfaat yang memudahkan generasi milenial
untuk menyelesaikan pekerjaan dan kebutuhannya. Namun, dalam segudang manfaat
tadi, juga melahirkan bumbu-bumbu negatif yang dapat menguasai bahkan
memperbudak penggunanya untuk terus memainkan ponselnya.
Teknologi canggih
yang menjadi kaki tangan generasi milenial ini diciptakan untuk mempermudah
pekerjaan manusia. Dengan berbagai fitur yang ada, manusia sangat terbantu dan
pekerjaannya dapat diselesaikan dengan cepat, mudah, dan praktis. Hal ini juga
yang membuat manusia malas berpikir. Contoh saja, anak yang sudah dibekali
gadget akan menggunakan ponselnya untuk mencari jawaban atas tugas-tugasnya. Padahal
dalam belajar, proses menemukan jawaban ialah hal terpenting daripada sekadar
benar dalam menjawab soal.
Egois, sebuah kata
yang tepat untuk menggambarkan sikap generasi milenial yang suka mengabaikan
sekitarnya. Jika kita pahami, ketika kita terlalu fokus memandangi gadget kita,
tanpa sadar kita akan melewatkan momen-momen berharga yang mungkin sayang untuk
dilewatkan. Selain itu, terlalu asyik bermain gadget juga menyebabkan kita bersikap
anti sosial. Sebuah sikap bodo amat pada lingkungan sekitar dan mementingkan
ego sendiri.
Sekarang ini yang menjadi permasalahan ialah banyak
remaja yang tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Para remaja sekarang sudah
jarang menjalin komunikasi secara langsung karena sudah ada gadget sebagai
media komunikasi kapan saja dan dimana saja. Karena verbalisme antar orang kian
memudar bukan tidak mungkin keakraban semakin hilang. Alhasil perpecahan
mungkin terjadi kapan saja.
Krisis
kemanusiaan
Terlintas dibenakku, berjam-jam menatap ponsel,
sebenarnya apa yang mereka cari? Teman, pergaulan, kesenangan, atau yang lain? Melihat
banyak orang yang senyum-senyum sendiri menatap gadgetnya seakan terlihat
mereka bahagia, punya banyak teman, namun apakah kebahagiaan mereka itu nyata?
Kebahagiaan mereka dapat diekspresikan lewat emoji pada pesan chat semisal wa,
fb, instagram, dan sosial media lainnya, sehingga mereka tidak perlu
mengekspresikannya di dunia nyata. Bukan tidak mungkin mereka begitu untuk menutupi
kesedihannya, mencari perhatian, dan menghindari rasa kesepian mereka.
Dunia nyata seolah menjadi semu, dan sebaliknya dunia
maya kian nyata. Mereka merasa bahwa kehidupan di dunia maya membuat hidup
mereka lebih berwarna dan bahagia. Mereka yang aktif di dunia maya belum tentu
juga aktif di dunia nyata. Menjadi aktivis dunia maya memang mudah karena
mereka hanya perlu menunduk sambil memijat gawainya untuk mengekspresikan
perasaannya. Padahal jika kita sadari, ketagihan online ini dapat memisahkan
kita dari hal-hal positif di sekitar kita. Sehingga, kita dan generasi penerus
kita akan terus menjadi generasi menunduk yang diperbudak oleh gadget dan
teknologi yang semakin canggih.
Kecanduan gadget secara tidak langsung dapat membuat
kita menjadi orang yang apatis, tidak peduli sekitar, egois, dan malas
bersosialisasi secara langsung di kehidupan nyata. Mengapa tidak, ketika orang
sudah memegang ponsel maka ia tidak akan bisa membagi fokus perhatian kepada
yang lainnya. Misalnya ketika orang yang diajak bicara bermain gadget, ia hanya
mengangguk-angguk padahal tidak tahu apa yang sedang dibicarakan. Hal ini
tentunya dapat membuat lawan bicara malas berbicara kepadanya. Sehingga mereka
yang punya banyak teman di dunia maya belum tentu punya banyak teman di dunia
nyata. Sudjiwo tedjo menggambarkan bahwa ngobrol dengan temannya sambil bermain
hp adalah perilaku biadab. Hal ini memang benar adanya karena secara tidak
langsung mereka tidak menghargai lawan bicaranya.
Media sosial yang seharusnya membuat kita lebih peduli
kehidupan sosial nyatanya justru membuat kita bersikap anti sosial. Kita mulai
malas ngobrol dengan orang secara langsung, malas nongkrong bareng dan bertemu
langsung untuk bercakap-cakap, malas memperhatikan orang lain dan tidak peka
dengan masalah-masalah yang ada di sekitar. Sekarang orang lebih suka berteman,
ngobrol, dan bersosialisasi lewat media online saja, karena menurut mereka itu
akan mempersingkat waktu, biaya, dan lain-lain.
Adanya Internet dan teknologi memang memudahkan kita
dalam segala hal. Mengenalkan anak pada teknologi bukanlah hal yang salah
karena memang sudah eranya. Memprihatinkan ketika anak dikenalkan gadget dan
teknologinya, anak menjadi pasif dan tidak mau mempelajari kehidupan di
sekitar. Anak zaman sekarang ketika pulang sekolah lebih suka masuk kamar untuk
bermain gadget daripada bermain di luar rumah. Padahal permainan luar rumah
dapat membantu anak bersosialisasi dengan temannya, mengenali lingkungan, dan
mengajarkan saling berbagi.
Selain itu, orang tua tidak tahu apa saja yang
dilakukan anak ketika memainkan ponselnya. Mungkin saja anak akan mengakses situs-situs
yang berbau pornografi sehingga membuat perkembangan psikologi anak berkembang
dewasa sebelum waktunya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap anak
sehingga banyak perilaku menyimpang seperti seks bebas, menonton film porno,
membaca komik dewasa, dan sebagainya. Kondisi ini memang memprihatinkan bukan?
Saatnya
ndangak, selamatkan generasi muda
Dalam bahasa jawa, antonim kata menunduk atau dingkluk adalah dangak. Maksudnya ialah kita harus berhenti untuk menunduk setiap
saat dan mengangkat kepala menghadap masa depan yang lebih baik.
Di era milenial ini kita telah menjadi korban
perkembangan teknologi. Banyak waktu kita yang terbuang sia-sia karena bermain
gadget. Sudah saatnya kita sadar bahwa kehidupan nyata lebih penting. Kita
harus menyelamatkan generasi muda. Menyelamatkan generasi muda mulai dari
pembatasan penggunaan ponsel dalam sehari, anak harus dikenalkan dengan
lingkungannya. Sebagai generasi muda, kita harus membatasi penggunaan teknologi
dan ponsel ini sesuai kebutuhan kita. Kontrol diri dari kita dan orang tua juga
perlu ditingkatkan, menyadarkan semua pihak tentang bahaya dini dari gadget.
Ponsel bukanlah segalanya, kebahagiaan dapat diraih
tanpa rasa ketergantungan dengan ponsel. Kita harus tahu bahwa ngobrol secara
langsung dengan teman lebih asyik daripada sekadar chattingan. Jangan biarkan rumah sepi karena masing-masing sibuk
memegang ponselnya. Jangan biarkan momen-momen berharga terlewat begitu saja
karena kita terlalu fokus memperhatikan ponsel kita. Kita yang menciptakan
ponsel cerdas, seharusnya kita lebih
cerdas dalam menggunakannya. Kita tidak boleh diperbudak oleh gadget dan
teknologi ini.
Mari kita bersama-sama menyelamatkan kehidupan nyata
kita. Mari angkat kepala dan tegap memandang langit. Mari bangun dari kekangan
gadget dan berusaha menggapai mimpi kita. Kita tidak boleh menunggu perubahan,
tetapi kitalah yang seharusnya melakukan perubahan. Kita harus mampu memberi
warna pada hidup kita, kita harus bangkit dan begerak untuk memperoleh
kebahagiaan yang nyata.
Kudus, 19/04/2019
Hasyim Asnawi
Komentar
Posting Komentar