foto: istock.com |
Momen tes akhir semester atau UAS sepertinya memang menjadi momok bagi sebagian mahasiswa. Tak jarang saking sulit dan banyaknya tugas yang diberikan dosen memancing mereka untuk sambat dan pansos di laman media sosial.
Kita tentu sering mendapati mereka (mahasiswa) berujar "tugasnya berat banget, pengen nikah aja", "semester 5 gini amat", atau quotes-quotes sejenisnya yang seakan menunjukkan beratnya tugas yang dikerjakan. Kalo dipikir-pikir lucu juga, bagaimana bisa mahasiswa membebankan tugas pada hal yang sama sekali tidak memecahkan masalah mereka.
Dalam artian gini, apakah ketika dia menikah ujug-ujug, mak bedunduk, simsalabim tugas mereka langsung kelar? Atau seandainya dia menikah betulan apakah dosen seketika langsung menarik tugas yang sudah diberikan? Nihil, mau nikah atau tidak, sebagai mahasiswa seharusnya ia tahu konsekuensi dari pilihannya, dong?
Bahkan hal ini saya temui hampir di seluruh tingkatan, entah itu semester awal yang notabene masa-masa awal menikmati kehidupan kampus, atau semester akhir yang menurut mereka tugasnya bejibun banyaknya. Saya heran, apakah mental model seperti ini sudah begitu melekat di antara kita?
Playing victim
Sebagai mahasiswa, kita dituntut untuk berlomba-lomba dalam berkarya dan berprestasi. Dalam hidup berdampingan dengan orang lain, kita juga dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Konsep ini tentunya sudah awam kita dengar di ceramah-ceramah atau seminar-seminar motivasi. Lantas gimana konsepnya kalau kita sendiri malah seringnya berlomba-lomba merasa menjadi korban?
Konsep playing victim (bermain korban) sebenarnya adalah konsep lama yang diterapkan Sun Tzu sebagai strategi perang pada 544-496 SM. Makin kesini, playing victim sering dipakai dipakai orang untuk melempar kesalahannya ke orang lain atau mencari simpatik dari orang-orang. Merasa menjadi korban dari keadaan dan merasa hidupnya yang paling berat sehingga menganggap dirinya adalah korban keadaan.
Dalam lingkup yang lebih dekat, tentunya kita sering menemukan teman kita yang berlaku demikian. Ketika dicurhati atau bercerita tentang masalah, ia justru melempar argumen yang menunjukkan betapa berat masalah hidupnya dibandingkan kita. Misalnya saja, "jurusanmu mah gampang, tugasnya cuma gini-gini. Coba di jurusanku, harus ini, buat itu, bla bla", "tugasmu cuma segitu doang? Lihat nih tugasku banyaknya minta ampun", atau "gitu doang kok sambat, coba kamu jadi aku, pasti gak kuat."
Kalimat-kalimat yang dipakai sebagai defense mekanisme untuk melindungi dirinya dan seolah-olah berperan jadi satu-satunya korban. Tanpa sadar, kata yang diucapkan ke temannya itu bahkan menjadi toxic yang bisa saja menyakiti hati temannya.
Memang tidak mudah menghindari perilaku demikian. Oleh karenanya, mencoba memposisikan diri menjadi orang lain memanglah penting. Mengutip pernyataan siapa saya lupa, "kalau tidak bisa berkata baik, lebih baik diam saja" sepertinya bisa kita terapkan ketika ngobrol atau bertemu orang lain.
Kembali ke point yang saya sampaikan di awal tadi, menjadi mahasiswa memang berat dan penuh penderitaan. Namun, jika penderitaan itu cuma dipandang sebagai beban, tentunya kita tidak akan berkembang.
Keputusan menjadi mahasiswa sudah kita ambil ketika mendaftar kuliah dulu. Sudah menjadi konsekuensi kita harus menjalani kewajiban sebagai mahasiswa dengan sepenuh hati. Jika boleh dianalogikan, kuliah itu seperti bersepeda. Bukan seberapa cepat kita sampai pada tujuan akhir, melainkan bagaimana kita menikmati perjalanan dan ingat pada tujuan.
Bagaimana kita mengayuh (berproses), menghindari kelokan yang ada (survive), dan mencapai tujuan kita di awal (relasi dan pengalaman). Jadi, tidak perlu memusingkan orang lain yang sudah sampai di garis finish terlebih dahulu. Karena setiap orang punya garis lintasannya masing-masing.
Selamat sambat mengerjakan UAS!
Jepara, 21/12/21
Komentar
Posting Komentar