Tiba-tiba saya teringat aksi demo yang dilakukan ratusan mahasiswa Kudus di depan pendopo hari ini (12/04). Masa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kudus Menggugat (AMUG) ini melancarkan demo dengan beragam tuntutan. Dari keterangan yang saya dapat, mereka menuntut kenaikan PPN yang menjadi 11%, penundaan pemilu atau perpanjangan 3 periode, atau kestabilan harga BBM dan bahan pokok.
Dalam hal ini, saya tidak akan mendiskreditkan diri saya apakah saya mendukung demo tersebut atau menolaknya. Bagi saya, setiap dari mereka pasti mempunyai keyakinan masing-masing untuk memilih melakukan demo tersebut atau hanya duduk di rumah.
Saya cukup kaget dengan euforia demo yang cukup ramai tersebut. Meskipun sedang bulan puasa ramadan, kehadiran masa aksi dari berbagai mahasiswa Kudus ini cukup menunjukkan bahwa semangat memperjuangkan demokrasi itu masih ada.
Dari beragam tuntutan yang diperjuangkan, bisa dikatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang peduli terhadap ketidakadilan yang terjadi sekarang. Namun, yang perlu digarisbawahi, apakah tuntutan yang dibawa tersebut mewakili suara hati masyarakat atau hanya sekadar eksistensi kelompok tertentu saja.
Di satu sisi, saya sepakat bahwa mahasiswa memang sudah sepatutnya memperjuangkan keadilan. Seperti kata Widji Thukul, "Bila rakyat tidak berani mengeluh, itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam." Sederhananya, ketika kita melihat begitu banyak kejahatan dan hanya didiamkan, itu artinya kebenaran sudah terancam.
Saya pun meyakini, mereka yang berani memimpin demo atau orasi, adalah orang-orang yang cerdas. Hal ini bisa kita lihat dari jalannya demo yang berlangsung, apakah itu kondusif, bagaimana tuntutan yang dibawa, bagaimana ia mengatur masa, bagaimana mempersiapkan strategi, konsolidasi, dan sebagainya yang membutuhkan kesiapan dan pemikiran yang matang.
Meskipun, dalam setiap demo, pasti ditemukan orang-orang yang hanya ikut-ikutan, pengin ngerasain bagaimana rasanya demonstrasi, diajak temannya, ikut bernyanyi sambil haha hihi, orang-orang yang meramaikan demo dengan segala pernak perniknya seperti jualan es, membentangkan spanduk, kata-kata sarkasme, ada juga yang sekadar selfi atau pansos di story.
Dalam hal ini, agaknya perlu kita pertimbangkan bagaimana urgensi demo tersebut, baik untuk kita sendiri, untuk mahasiswa, atau masyarakat. Dikhawatirkan, mereka yang hanya ikut-ikutan, akan terbawa suasana dengan idealismenya yang tinggi sebagai mahasiswa. Tak jarang, aksi baku hantam, anarkis, bentrok antara demostran dan aparat tak terhindarkan.
Kita juga tidak bisa mengalahkan pemerintah atau aparat yang mengamankan demonstrasi. Semua dilakukan karena tuntutan pekerjaan di elemen masing-masing. Maka dari itu, mahasiswa yang memutuskan turun ke jalan setidaknya memahami seluk beluk terkait demo yang dilakukan. Apa tuntutan yang dibawa, bagaimana poin-poinnya, apa urgensinya, apa imbas atau manfaat kedepannya.
Itulah pentingnya si orator atau korlap aksi untuk memberikan pemahaman kepada seluruh demonstran. Sehingga, demo dapat berjalan dengan kondusif dan membuahkan hasil.
Pada intinya, sejauh mana kita bergerak itu yang menentukan proses kita. Saya menganggap demo sebagai ruang belajar, bagaimana mereka bersosialisasi dengan orang luar, konsolidasi, membangun kerjasama tim, serta mendapat pengalaman dari apa yang mereka lakukan.
Meskipun kita tidak tahu apakah aspirasi dan tuntutan tersebut akan didengar oleh pemangku kebijakan, paling tidak mereka sudah melakukan apa yang mereka bisa. Yang terpenting, tidak ada yang saling menyalahkan baik itu yang demo atau yang tidak, karena pada dasarnya, kita akan kembali disadarkan oleh fakta, bahwa setiap dari kita akan bertanggungjawab pada hidupnya sendiri-sendiri.
Jepara, 13/04/2022
Hasyim Asnawi
Komentar
Posting Komentar