Langsung ke konten utama

Nangkring, Ngopi dan Diskusi

sumber: indozone.com

Kebanyakan orang berpikir, belajar hanya didapat dari sekolah atau bangku perkuliahan saja, tapi mereka seharusnya juga percaya, bahwa ilmu bisa diperoleh dari mana saja, termasuk dari jagongan-jagongan yang sepele.

Orang-orang masih beranggapan, jika nongkrong atau jagong tidak ada manfaatnya, at list boleh dikatakan unfaedah lah. Namun mereka lupa, dari tongkrongan kita bisa belajar banyak hal, relasi, wawasan dan pemikiran baru. Itu pun, tergantung dengan siapa kita ngobrol dan apa yang diobrolkan.

Berawal dari ajakan kawan lama, sebut saja toyib, kata 'ayo ngopi' menjadi alasan kita berkumpul. Terkesan sederhana memang, namun masa dimana semua orang seakan merasa dirinya paling sibuk sendiri,  momen seperti ini tak boleh ditinggalkan. Apalagi, setelah lama tak  berkumpul, menyempatkan diri untuk bertemu adalah pilihan yang bijak.

Belum genap pukul 8 malam, Toyib sudah tiba di depan rumah, dengan sandal jepit, sarung, dan jaket almamater bertuliskan Untidar, starter pack yang selalu dipakainya, sangat mudah untuk mengenali perawakannya. Ditambah Tote bag dan kaos bertuliskan 'pluralisme', menambah kesan 'anak indie' pada dirinya.

Dari rumah, bisa ditaksir waktu tempuhnya sekitar 10 menit untuk sampai di angkringan, tepatnya di dekat pom bensin desa krasak, Pecangaan, Jepara. Sata perjalanan terkadang rambut gondrongnya sempat mengenai wajahku. Namun tidak masalah, karena saya lebih tertarik pada obrolannya, bukan rambutnya.

Sesampainya di sana, kami sudah ditunggu oleh Agung, kawan kami yang tiba lebih awal setelah pulang dari pabrik tempat ia bekerja. Seperti biasa, kopi hitam panas menjadi pilihan kami, dan dengan cekatan penjaga angkringan langsung menyajikannya.

Tak berselang lama, datang kawan-kawan kami yang lain, berturut-turut Ari, Adi, Anam, Riki, dan Rohmadi. Malam itu, sekaligus menjadi momen reuni SD dan SMA. Obrolan diawali dari hal-hal yang ringan, mulai dari kesibukan, kerjaan, kuliah, sampai hal-hal yang cukup berat seperti PPKM, humanisme dan konspirasi.

Saya menangkap banyak hal dari obrolan kami semalam. si Toyib, meskipun penampilannya urakan, dia bisa menyesuaikan topik obrolan dengan semua orang. Wawasannya memang luas, rambut gondrongnya yang dirawat empat tahun itu menjadi saksi nyata prosesnya di Untidar.

Maklum saja, latar belakang yang berbeda membuat obrolan menjadi tidak terarah. Tidak semua dari kami yang kuliah, ada yang bekerja di pabrik dan ada yang dari pondok pesantren.

 

Memanusiakan Manusia

Obrolan menjadi menarik ketika ada yang melempar isu untuk membincangkan kemerdekaan. Indonesia merdeka sudah sekian tahun, sejak 1945. Namun, apakah masing-masing dari kita sudah merasa merdeka?

Kita bisa mengartikan merdeka sebagai perasaan menjalani hidup dengan aman dan nyaman. Aman  dan nyaman di sini berarti melakukan aktivitas keseharian kita sukarela, tanpa pressure, tidak ada ketergantungan dan tidak merugikan orang lain.

Ambil contoh ketika kita kuliah, bekerja, atau menjalin hubungan dengan orang lain. kita sering menuntut tubuh utk kerja keras, menyelesaikan tugas, melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan, hingga akhirnya tertekan dan tidak tahu mengapa kita melakukan hal tersebut.

Boleh jadi kita terjajah oleh tugas, oleh teknologi, oleh tuntutan orang-orang, sampai akhirnya membuat kita tertekan dan tidak nyaman. Itu artinya kita blm sepenuhnya merdeka. Merdeka tidak harus bebas melakukan apa saja, tapi kita melakukan hal tersebut dari keinginan kita sendiri, mandiri, dan berhak menentukan aoa yang harus dan tidak harus kita lakukan.

Begitupun ketika memperlakukan orang lain, sudah selayaknya kita memahami mereka sebagaimana manusia lain, memanusiakan manusia. Tidak peduli bagaimana mereka hidup beragam baik kepercayaan, hobi, pekerjaan, agama, asalkan tidak merugikan orang lain, untuk apa dipermasalahkan.

Permasalahan sekarang adalah kita terlalu memaksakan pemikiran kita ke orang lain, yang belum tentu diterima, tanpa melibatkan persetujuan atau pemikiran mereka juga.

 

Jepara, 30/07/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s