Tulisan ini adalah hasil refleksi pada acara sarasehan PJTL bersama alumni dan kepengurusan selama satu periode ini
JUMAT 5 November 2021, saya mulai merasakan bagaimana ruh Paradigma seakan hidup kembali. Bagaimana tidak, iklim literasi dan semangat belajar para anggota nyatanya masih ada. Saya tidak berlebihan mengatakan ini adalah progres yang bagus, melihat teman-teman pengurus secara perlahan mulai berkembang pada bidangnya masing-masing. Lihat saja, anas yang seharian penuh menyiapkan materi fotografi untuk follow up besok pagi. Ichsan yang tidak malu berbaur dengan pengurus meskipun dia cuma anggota magang saja. Atau abror yang sudah memutuskan menjadi marbot kantor lpm, lengkap dengan majikom dan peralatan dapur yang dihibahkannya.
Saya masih ingat betul, bagaimana awal kepengurusan tahun ini terbentuk. Dari diri saya pribadi yang merasa tidak mampu menahkodai lembaga sebesar ini, kemampuan menulis, public speaking yang blepotan. Bahkan kemampuan leadership yang sama sekali tak pernah aku dapatkan dari mana pun. Jujur, saya seringkali tidak bisa tidur memikirkan ini, bagaimana masa depan paradigma, bagaimana dengan anggota yang tidak tahu diri dan seenaknya, bagaimana jika majalah tidak bisa selesai tepat waktu dan akhirnya tidak terbit, bagaimana LPM setelah kepengurusan ini purna.
Namun, perlahan merangkak, paradigma mulai menampakkan wajahnya. Berbagai evaluasi dan refleksi yang kami tampung, memberikan banyak pelajaran bagi kami. Sistem kepengurusan yang mulai tertata rapi, divisi-divisi yang dulu mati suri kini sudah bisa bernafas lagi, manajemen keredaksian yang sudah terkonsep dengan baik. Itu semua karena semangat teman-teman yang mempunyai tujuan yang sama, mengharumkan nama “Paradigma”.
Agenda
terakhir di tahun ini, tepatnya pada PJTL minggu lalu, saya senang akhirnya ada
agenda satu forum lagi dengan para alumni. Saya harap komunikasi seperti ini
terus berjalan, sehingga kita sama-sama sengkuyung
bareng membawa lpm lebih terarah.
Dari sarasehan bersama alumni kemarin, saya mungkin hanya bisa merangkum
beberapa point yang menjadi pembahasan. Terima kasih juga buat Sulaiman yang
sukarela menuliskan poin-poinnya pada saat itu.
Mengingat untuk tidak mengulanginya
Berbagai evaluasi telah disampaikan teman-teman, mulai dari diri sendiri, dan saran-saran yang sudah menjadi hal yang lumrah dalam organisasi. Misalnya saja, miskomunikasi antar anggota, kedekatan yang kurang, leadership, kearsipan, dan sebagainya. Semua itu sudah pernah dialami di periode-periode sebelumnya. Mengingat bahwa setiap angkatan pasti ada masanya sendiri, yang perlu diingat adalah bagaimana kita mengambil pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Memang benar apa yang dikatakan oleh kak Farid pada waktu itu, kita terlalu sering overthingking dan tidak percaya pada kemampuan diri sendiri. Padahal seperti yang dikatakan nostress dalam lagunya, mungkin saja kita takut karena belum mencobanya. Padahal setelah dicoba pun, ternyata kesulitan-kesulitan yang kita takutkan hanyalah seonggok overthingking yang tidak ada apa-apanya.
Kita
takut tulisan kita jelek, kita takut majalahnya nggak jadi, atau kita takut
membuat agenda besar karena terlalu berkaca pada agenda-agenda periode
sebelumnya. Barangkali, ini dapat menjadi pelajaran bagi periode selanjutnya,
mencoba membuat konsep lpm yang lebih rapi dan tertata, tanpa takut dengan
kemungkinan-kemungkinan yang ada (omongan alumni, acara tidak sesuai, dll).
Menjalin kemitraan yang baik
Poin selanjutnya yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita harus menjalin hubungan dan komunikasi yang baik. Baik itu ke sesama anggota, ke alumni, atau relasi luar. Ada yang bilang _komunikasi adalah koentji_. Mengkomunikasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga, kepengurusan. Bisa saja, dari relasi-relasi tersebut, kita dapat mengambil banyak hikmah ihwal kemajuan lpm, kinerja anggota, atau pengalaman-pengalaman orang lain yang bisa kita terapkan di lembaga kita.
LPM butuh kamu, jangan sia-siakan!
Saya pernah berpikir, bagaimana jadinya saya bila saat awal kuliah, saya menolak ajakan kawan saya untuk bergabung ke paradigma. Mungkin saja, saya masih belum tahu apa-apa dan bingung mau melakukan apa selama lebih dari 8 semester di kampus. Saya selalu menanamkan dalam diri saya bahwa saya memang butuh lpm, saya butuh wifi gratis, tempat kos gratis, kawan-kawan yang mau menyumbangkan rokok pas saya bokek secara sukarela, para alumni yang dengan senang hati mau berbagi cerita dan pengalamannya, serta teman-teman yang tidak membedakan jurusan, tempat tinggal, atau sebagainya. Semua di lpm berkumpul jadi satu keluarga.
Sampai saat ini saya masih belajar dan berproses di lpm. Dari situ, saya tidak sungkan untuk melakukan apa saja, memberikan sumbangsih tenaga, pikiran, dan sebagainya untuk kebermanfaatan dan kemajuan lpm. Maka, saya berharap teman-teman juga berpikiran demikian. Anggap saja proses kita di lpm sebagai amal, ngabdi, atau sekadar kegabutan yang menjadikan itu sebagai berkah ketika kita sudah tidak lagi mengemban amanah sebagai pengurus.
Mari, bangun Wacana!
Omong kosong jika kita sering menggembor-gemborkan paradigma, bersama membangun wacana, namun nyatanya dalam internal sendiri tidak mengetahui apa makna paradigma dan wacana itu. Kita tahu, arti paradigma adalah pola pikir, lantas bagaimana kita membangun pola pikir seperti cita-cita para pendahulu paradigma kita. Mencoba membangun pola pikir yang berbeda dari mahasiswa pada umumnya memanglah tidak mudah. Kita masih saja sering terbawa arus dengan mahasiswa-mahasiswa lain, tak punya arah yang jelas, nimbrung sana-sini, hujat sana, sindir sini, tanpa menelisik dan menganalisa sebuah wacana atau isu yang sedang ramai diperbincangkan.
Padahal, dari paradigma yang kita bentuk, kita bisa membangun wacana dan iklim literasi baik di internal anggota maupun lingkungan IAIN Kudus menjadi lebih maju. Itulah sebenarnya tujuan para alumni memberi nama ukm ini dengan nama Paradigma, dengan tagline yang sudah terpampang jelas di bawahnya, Bersama Membangun Wacana.
Jadi, mari bangun wacana itu dari bawah. Membangun kembali iklim literasi antar anggota, baik dengan diskusi kecil-kecilan, menyebar virus baca buku, belajar bareng menulis, melakukan kegiatan menyenangkan yang bisa dilakukan secara bersama-sama –yang tentunya untuk progress anggota juga- jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang ada, sebelum menyesal karena pernah tidak sungguh-sungguh di paradigma.
Sebuah kabar baik juga, karena majalah yang kita garap juga hampir jadi, tinggal satu dua tulisan dan revisi sebelum dikirim ke percetakan. Begitupun dengan koran parist+ nya, semoga lancar tanpa kendala.
Akhir kata, kembali ke apa yang saya sampaikan di awal tulisan ini, semoga iklim seperti ini terus dibangun. Dengan sedikit paksaan dan kemauan belajar, saya percaya paradigma akan terus berkembang. Barangkali, ini adalah refleksi terakhir yang saya tuliskan buat temen-temen. Saya lega karena lpm sudah menuju ke arah yang lebih baik. Dan tetaplah jaga kekompakan sampai akhir kepengurusan.
Kudus,
5/11/2021
Komentar
Posting Komentar