foto: hasyim |
Judul buku :
Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam, Sehimpun Reportase Rusdi Mathari
Penulis :
Rudi Mathari
Cetakan :
Pertama, Juli 2018
Tebal :
215 Halaman
ISBN :
978-602-1318-63-8
Mengetetahui beragam kisah dari perilaku manusia
terkadang membuat kita berpikir, apakah hidup kita benar-benar sudah bermanfaat
bagi orang lain? Atau sebaliknya, sifat manusiawi kita justru tanpa sadar telah
merugikan orang lain. Membaca buku ini akan membuat kita merenung, sudah seberapa
bermakna hidup kita.
Buku ini merupakan sehimpun reportase milik
Rusdhi Mathari dari rentang tahun 2007 hingga 2014. Buku yang berisi sembilan belas
naskah dan terbagi menjadi dua bab ini tidak hanya disajikan secara mendalam,
menarik, tetapi juga menggelitik. Dalam buku ini Rusdi Mathari seakan mengajak
para pembaca untuk ikut menjelajahi dan merasakan kisah-kisah melalui
reportasenya.
Membaca sehimpun reportase Cak Rusdi, begitu
ia akrab disapa, pembaca akan dibuat kagum dengan kegigihan dan keuletan Cak
Rusdi dalam memperoleh hingga menyusun tulisan demi tulisan. Judul buku “Mereka
Sibuk Menghitung Langkah Ayam” ini juga diambil dari judul salah satu reportase
yang dianggap liputan terbaik dari Sembilan belas naskah dalam
buku ini. Bagi Cak Rusdi, menulis seperti mendongeng dalam bentuk
kata-kata.
Pada naskah pertama misalnya, berisi kisah
perjumpaan Cak Rusdi dengan orang-orang yang dikucilkan karena mengidap
penyakit AIDS. Di Indonesia, penderita AIDS masih mendapat diskriminasi seperti
diusir atau tidak diakui keluarganya, diberhentikan dari pekerjaannya, dan
sebagainya.
Belakangan ini, ketika HIV/AIDS diketahui
juga bisa menular lewat pemakaian jarum suntik yang digunakan bersama-sama,
transfuse darah, pemakaian produk darah, dari ibu ke anak yang dikandungnya,
opini masyarakat tetap tidak berubah terhadap penderita AIDS. “Saya rasa
pengetahuan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS memang masih rendah,” kata
Sarlito yang juga penggiat di Yayasan Aids Indonesia. (hlm. 9)
Naskah ketiga, pembaca akan dibuat menguras
air mata melalui kisah-kisah dari panti-panti yang dikunjungi Cak Rusdi. Kisah
orang tua yang dititipkan anak-cucunya sendiri dan menghabiskan sisa hidup di panti
jompo. Mengikuti kegiatan rutin yang sudah dijadwalkan pengurus panti seperti
olahraga pagi, membuat kerajinan, dan masuk kamar pukul 9 malam. Belum lagi
perselisihan para orang tua, sifat yang mirip anak kecil, kebiasaan buang air
di tempat tidur sudah menjadi pemandangan biasa di panti jompo.
Saya melihat diri saya saat tua nanti.
Kemudian bertany-tanya, masa tua seperti apa yang saya harapkan kelak? Hidup
bersama anak-cucu dan tinggal bersama kehangatan keluarga, atau harus
tersingkir dan disisihkan ke panti jompo yang sepi dan dingin? (hlm. 33)
Penjara adalah tempat yang kejam, dan hukum
di Indonesia masih memihak kepada orang yang lebih berkuasa. Sementara orang-orang
yang tak berdaya akan selamanya terpojokkan meskipun tidak terbukti bersalah.
Lewat naskah keenam ini, Cak Rusdi mengisahkan cerita menyedihkan dari beberapa
guru Jakarta Internasional School (JIS) yang dituding telah menyodomi muridnya
yang masih TK. Situasi diperparah dengan adanya pemberitaan media secara masif yang
semakin memojokan mereka, dipaksa mengaku karena polisi menyiksa mereka
berulang-ulang kali, padahal pada tubuh korban tidak ada bukti sedikitpun bekas
pelecehan seksual.
Bergeser dari persoalan penjara, Cak Rusdi
mencoba menceritakan bagaimana kegemarannya mengunjungi pasar tradisional di
dekat rumahnya. Menurutnya, pasar adalah tepat berdialog dan bertatap muka
secara jujur. Suasana menyenangkan, aroma yang khas, tawar menawar harga
meskipun berselisih lima ratus atau seribu rupiah, tidak akan ditemukan di
pasar-pasar modern. Lewat kisah ini
juga, Cak Rusdi seakan menyindir para suami yang enggan menemani istrinya
berbelanja di dalam pasar dan memilih menunggu di luar pasar.
“Ada yang sibuk memencet-mencet HP, ada
yang merokok, ada yang melamun. Sungguh malang para pria itu dan saya tentu
saja tidak seperti mereka. Saya memilih menemani istri masuk ke pasar, dan
itulah yang selalu saya lakukan setiap kali menemani istri ke pasar.” (hlm. 101)
Mengingat kembali tsunami Aceh pada tahun
2004 silam, Cak Rusdi menyajikan kisah hebat orang-orang Aceh yang berjuang
membangun harapan. Menyusun hidup baru setelah tsunami merenggut segalanya dari
mereka, bukanlah hal yang mudah. Orang-orang yang kembali merajut asa setelah
dihandam badai putus asa. Seperti kisah Dina yang kehilangan ketiga anaknya.
Setiap pagi dan sore bertanya pada air laut dimana anak-anaknya.
“Saya sempat kehilangan harapan, sebelum
menyadari semua itu suratan takdir,” kata Dina. (hlm. 186)
Halnya dengan Ismail yang mengutuk lautan
karena telah merenggut rumah, istri dan anak-anaknya. Namun lama-lama dia
merasa bodoh karena hanya bisa mengutuk lautan dan seolah tidak ada harapan. “Saya
melihat Dian, dan sadar hidup ini harus dilanjutkan,” kata Ismail. (hlm.
187)
Naskah terakhir ini, berisi kisah liputan
mendalam Cak Rusdi tentang diskriminasi kelompok di Jawa Timur. Diikuti dengan
cerita-cerita menggelitik disana, Cak Rusdi menggambarkan bagaimana kelompok
Syiah dianggap sesat karena telah menyimpang ajaran Islam, kelompok Syiah-Suni
di Madura, termasuk polemic cincin akik dan dua hokum halal-haram. Kebiasaan
mengenakan cincin akik, membaca qunut bila subuh, suka tahlilan, dan membawa
jimat dianggap sebagai orang alim. Sebaliknya jika tidak suka tahilan atau tidak suka jimat dianggap sesat atau kafir.
Politik kepentingan dan hubungan kiai-umat seperti ini sudah biasa dan serta
merta dipraktikkan oleh umat di Madura.
Belum lagi keika musim maulid, yang
biasanya menjadi musim panen para kiai. Setiap rumah berlomba-lomba mengundang
para kiai, tentu saja harus diberi uang saku. Dari uang saku tersebut, para
kiai minimal dapat membeli motor. Sedihnya, bagi yang tidak mampu atau tidak
cukup uang akan meminjam ke tetangga bahkan kiai termasuk bunganya.
Bagian terakhir disajikan konflik yang
berujung pada pembakaran rumah kelompok Syiah dan pengusiran. Karena kasus ini
kelompok Syiah dianggap sesat. Mereka menilai paham mereka yang benar sedangkan
paham lain sesat atau kafir. Padahal mereka juga mengaku mengajak ke kebaikan
dan mencegah kekejian. Padahal menegakkan kebaikan tidak dengan
membakar,merusak dan tidak membunuh. “Dalam ungkapan Madura, mereka hanya
sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi
ayam.” (hlm. 214)
Komentar
Posting Komentar