Langsung ke konten utama

Catatan Lepas

foto: finansialku.com


Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya.

Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus.

Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini.

Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di situ. Bagi saya, lingkar Jateng memang saya jadikan sebagai batu loncatan untuk bekerja ke media lainnya, yang tentunya mendukung progres saya dalam mengembangkan diri. Namun, tak dapat dipungkiri, dalan hati kecil saya, ada sedikit penyesalan karena saya resign sebelum ada keinginan yang kuat atas keputusan pribadi saya.

Lebih tepatnya, saya diberhentikan setelah saya ketahuan nyabang di suara nahdliyin dan mengikuti fellowship Sejuk atas nama suara nahdliyin. Dari jawaban yang disampaikan pimred saya di lingkar, ini adalah sebuah kesalahan fatal yang tidak bisa ditolerir lagi. Saya akhirnya harus menerima keputusan bahwa mulai bulan depan saya tidak lagi menjadi seorang wartawan.

Barangkali, kejadian ini adalah jawaban dari keresahan saya selama ini. Keinginan untuk menjajaki diri sebagai jurnalis sudah saya rasakan selama 6 bulan. Dan ini waktunya saya fokus untuk menyelesaikan perkuliahan saya sembari menulis untuk suara nahdliyin dan kampung budaya piji wetan.

Karena, saya akui sendiri, beberapa waktu belakangan ini saya sangat terdistrak dan pontang-panting karena harus menghandle tiga pekerjaan sekaligus, yakni di lingkar, KBPW, sesekali nulis di SN dan projek liputan Sejuk.

Dari kejadian ini pula, saya sudah mulai bisa merasakan sejauh mana batas kemampuan saya. Belajar dari pengalaman, saya harus bisa mengambil banyak pelajaran atas perilaku dan tindakan saya selama ini.

Meskipun saya tidak sepenuhnya berniat untuk menyabang di dua media, hanya saja, kondisi memaksa saya demikian. Keputusan mengikuti program Sejuk yang saya ikuti pun bukan tanpa alasan. Pertama, karena sebelumnya saya memang pernah ikut atas nama SN, kedua, peluang diizinkan mengikuti kegiatan itu lebih besar jika dari SN, bukan lingkar. Ketiga, lingkar kurang mendukung pengembangan SDM anggotanya dan hanya berfokus pada profit saja.

Namun, setiap pekerjaan pasti ada konsekuensinya, dan setiap keputusan akan memunculkan keputusan-keputusan yang berbeda nantinya. Saya percaya, masih banyak media yang mau menerima saya. Dan kesempatan untuk menjadi jurnalis lagi masih terbuka lebar.

Enam bulan di lingkar bukan hal yang buruk juga, saya pun sudah mempertanggungjawabkan kesalahan saya dengan menyelesaikan tugas iklan dalam satu bulan ini nantinya. Saya anggap hal tersebut adalah win-win solution yang cukup bijak. Apa yang sudah dimulai memang harus dituntaskan. Saya anggap itu adalah hal yang setimpal dengan apa yang sudah perusahaan berikan kepada saya selama 6 bulan ini.

Setelah ini, saya akan fokus di skripsi saya, sembari mengikuti event-event maupun fellowship yang bisa menambah kompetensi dan upgrade diri saya. Tak perlu menggebu-gebu dalam berproses. Setiap fase yang kita lewati, musti kita nikmati dan jalani sebagai sebuah proses pendewasaan dan pembelajaran.

Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. Anggap saja kejadian ini sebagai pertaruhan hidup menuju tantangan yang lebih besar nantinya, Semoga...


Kudus, 2 November 2022

Hasyim Asnawi



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan