Langsung ke konten utama

Jika Indonesia ini Buku, Maka Genre-nya adalah Realisme Magis


oleh: Hasyim Asnawi* 

Judul buku      : Parade Hantu di Siang Bolong

Penulis             : Titah AW

Cetakan           : Keempat, Desember 2022

Tebal               : 247 Halaman

ISBN               : 978-623-93304-8-4

Apa yang ada di pikiran Anda ketika melihat sebuah hal-hal di luar nalar dan logika berpikir sewajarnya manusia? Apa yang ada di dalam benak Anda ketika mendapati masih ada sebagian orang yang memercayai mitos, klenik, tahayul dan barang gaib lainnya? Menganggapnya gila, aneh, kuno ataukah menganggap mereka berkhayal?

Percayalah bahwa orang-orang dan cerita-cerita itu masih ada sampai sekarang. Di era di mana manusia terus menerus dituntut untuk berpikir rasional dan selalu mengagungkan metode saintifik dalam menanggapi segala suatu. Hal-hal mistis dan irasional semacam itu akan selalu hidup dan berdampingan dengan masyarakat.

Mitos, kearifan lokal, dan segala kemajemukan yang terkadang irrasional semakin menunjukkan beginilah masyarakat kita. Antara modernitas dan lokalitas, rasional dan irrasional, saintifik dan nonsaintifik, realisme dan magis, adalah sesuatu yang nyata dan akan mempunyai keterikatan dengan manusia. Peristiwa-peristiwa, cerita-cerita dan tokoh-tokh itu tak dingada-ngada dan apa adanya. Terangkum dalam 16 reportase jurnalistik dari Titah Aw tentang mitos, tradisi, lokalitas, budaya lokal yang tak luput dari kehidupan masyarakat di Indonesia

Titah mengajak pembaca untuk menyelami peristiwa-peristiwa yang sering luput dari perhatian padahal dekat dengan kita. tulisan yang terangkum dalam dua tema seputar isu mitos dan lokalitas, Titah seakan mengingatkan kita bahwa modernitas dan lokalitas, rasional dan irrasional, saintifik dan nonsaintifik, realisme dan magis, adalah sesuatu yang nyata dan akan selalu berdampingan dengan manusia. 

Lalu, bagaimana peran jurnalisme yang selama ini kita pahami hanya berkutat pada istilah-istilah semacam objektivitas, netralitas, fakta dan kata-kata mulia lainnya? Bagaimana pula jurnalisme menempatkan dirinya ketika dihadapkan pada fakta rasional dan irrasional yang saling berkelindan?

Ia tak hanya menawarkan bentuk jurnalisme yang berisi isu-isu pinggiran, Titah dalam bukunya berjudul Parade Hantu di Siang Bolong ini juga menyuguhkan keabsurdan, realitas yang kompleks dan hal-hal di luar nalar dengan gaya jurnalisme sastrawi yang tetap reriabel, jujur dan sebagaimana adanya.

Alih-alih membuat para pembaca merasa berjarak dan bersikap skeptis terhadap mitos dan terjebak pada eksotisasi mistisme Timur, pembaca akan dibuat terkesan lewat reportasenya dalam menyelami dan menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa ganjil dalam liputannya. lewat narasi yang apik tentang kompleksitas masyarakat Indonesia, Titah menunjukkan bahwa jurnalisme tak melulu musti mengungkap kebenaran dan realitas bulat. seperti yang dikatakan Edmund Huserl, kenyataan itu seoerti bawang, yakni berlapis. Dan Titah berhasil mengupas satu cerita untuk mendapatkan cerita berikutnya.

Reportase Pesta Ebeg Banyumas sebagai artikel pembuka misalnya. Dalam tulisannya, Titah membagikan pengalamannya mengikuti pesta antar dimensi bareng roh halus di Banyumas; Pesta Ebeg.

"...Danu ambruk ke tanah, merangkak, lalu bersungut-sungut maju ke tengah kerumunan. Bak penari kawakan, ia lalu melompat-lompat penuh tenaga mengikuti tabuhan kendang. Teman-temannya bersumpah biasanya Danu tak bisa menari seluwes itu..."

"Yang dialami Danu dan penonton lain disebut wuru atau mendem, kita biasa menyebutnya kerasukan atau trance. Wuru masal ini adalah isi Babak Janturan di Pesta Ebeg. Jika umumnya fenomena kerasukan selalu disikapi sebagai hal mistis yang menakutkan, dalam Ebeg justru dianggap jadi atraksi meriah yang digandrungi." (3)

Kesan mistisme dan supranatural memang tampak mencolok dalam tulisan-tulisan di buku ini. Bukan tanpa tujuan, akan tetapi Titah seperti sengaja mengarahkannya ke sana. Meskipun begitu, isu-isu seputar lokalitas dan budaya yang diangkat tetap tidak melewatkan proses, teknik, dan nilai jurnalisme itu sendiri. Mitos yang dipercaya, tradisi yang masih dilestarikan, kepercayaan terhadap klenik, roh halus hingga ufo terpapar secara detail dan hidup dalam cerita keseharian narasumber.

Jangan dikira buku ini hanya berisikan mitos-mitos di luar nalar saja. Yang terkesan tak masuk akal, kuno dan sudah tidak relevan. Jurnalis VICE Indonesia itu juga memasukkan liputan-liputannya yang terkesan absurd, aneh, namun nyata dan ada di dekat kita. Sebut saja reportasenya tentang Sayembara Misuh Virtual untuk melestarikan budaya Jawa, Tradisi Golek Garwa (mencari jodoh) secara offline di Yogyakarta, Solidaritas kemanusiaan dalam Grup Facebook Info Cegatan Jogja, hingga peliknya kasus klitih Jogja yang tak hunjung hilang.

Tak jarang, cerita-cerita di buku ini kembali mengingatkan kita untuk rehat sejenak, melihat realita kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan polaris, dibanding menatap gemuruh dunia maya yang membosankan di layar ponser kita.

"Misuh itu proses pendewasaan. Soalnya kalau kamu dengar orang misuh lalu sakit hati, berarti dolanmu kurang adoh - mulihmu kurang isuk (mainmu kurang jauh - pulangmu kurang pagi, kurang pengalaman)." (105)

Mekipun dalam liputannya banyak menghadirkan mitos-mitos, Titah tak menuntut kita untuk memercayai apa yang dituliskan dalam ceritanya, tak juga mengajak pembaca untuk menafikan mitos dan eksotisme magis yang sudah ada sejak lama. Lagi-lagi, ia mengembalikan semua cerita itu kepada pembaca dan masyarakat Indonesia.

Bisa jadi, kumpulan reportase ini akan menambah warna baru dalam genre jurnalisme sastrawi yang ada di Indonesia. Kepekaan dan naluri Titah dalam menarasikan cerita jelas membuka diri dan memperluas pandangan kita terhadap konteks. Banyak pesan-pesan tersirat dalam setiap liputannya yang tidak boleh terlewatkan, ia sisipkan bersama fakta antara rasional dan irasional, ralisme magis dan jarak yang perlu disadari pembaca dengan tokoh utama (narasumber). Mengutip sepenggal kalimat dari judul buku ini, mitos-mitos dan peristiwa itu seperti hantu-hantu yang sedang berparade, mengitari kita, hidup di tengah-tengah masyarakat kita.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s