Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Di Festival Pager Mangkok, Semua "Guyub Rukun"

  Masyarakat Piji Wetan melangsungkan prosesi kirab budaya dan ritual doa pager mangkok dalam acara Festival Pager Mangkok 2022 di Punden Depok Dukuh Piji Wetan Desa Lau, Dawe, Kudus, Jumat (25/11/2022). Manusia sejatinya makhluk sosial. Dia ditakdirkan hidup untuk berdampingan dan berinteraksi satu sama lain. Seperti sebuah miniatur kehidupan, Festival Pager Mangkok 2022 menjelma jadi ruang kolaborasi. Di sana, budaya, seni, dan religi saling bertaut dengan manusia-manusia di dalamnya. Semua guyub rukun . Jumat (25/11/2022), Dukuh Piji Wetan Desa Lau, Dawe, Kudus menjadi tempat penyelenggaraan Festival Pager Mangkok 2022. Di desa yang sudah dinobatkan menjadi desa budaya itu, event budaya tahun kedua itu digelar.  Penyelenggara, Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) memilih istilah pager mangkok sebagai tema utama yang diambil dari falsafah Sunan Muria " pager mangkok luwih becik tinimbang pager tembok ". Artinya, pagar mangkuk lebih baik daripada pagar tembok. Ini mngingatkan ke

Angka Perceraian yang Tinggi di Jepara dan Beban Ganda “Janda”

Situasi ribuan buruh pabrik di Jepara usai bekerja seharian Ia bernama Vina (bukan nama sebenarnya-red), warga sebuah desa di Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Sudah dua tahun ini, ia bekerja di salah satu pabrik tekstil di Jepara, usai bercerai dengan suaminya. Kini, ia menjadi orang tua tunggal yang harus menanggung kebutuhan hidup anak dan ibunya. Vina (24) menceritakan keputusannya bercerai dengan mantan suami lantaran tak kuasa menghadapi perilaku suaminya. Selama menikah, ia mengaku hubungan pernikahannya sering terjadi perselisihan.  Konflik rumah tangganya dimulai karena sang mantan suami tak punya kerja tetap. Sehingga ekonomi keluarga hanya ditanggung Vina sendiri. Ia ingat, sang mantan suami cuma suka main game  hingga membiarkan Vina jatuh sakit. Konflik mereka meruncing saat Vina mengalami keguguran anak pertama. Sang suami malah menyalahkannya. Mereka sempat berbaikan, tapi Vina akhirnya memutuskan untuk bercerai pada Juli 2019 lalu. Puncak perselisihan di keluarga Vina

Wartawan dan Idealisme yang Diperdagangkan

Saya pikir menjadi wartawan itu asyik dan menantang. Apalagi, ketika melihat mereka terjun ke lapangan, melakukan reportase, wawancara narasumber dan menuliskan sebuah peristiwa menjadi berita. Bagi orang awam, memang pekerjaan itu terlihat keren. Namun setelah saya sendiri merasakan dunia jurnalis selama 6 bulan ini, bayangan saya di dunia wartawan ternyata tak semuanya indah. Bicara soal dunia kewartawanan, semenjak bergabung di Lembaga pers kampus, saya memang tertarik menggeluti bidang itu. Di sana, saya belajar banyak hal; jurnalisme, kode etik, idealisme, independensi pers, dan lainnya. maklum saja, ketika masih menjadi mahasiswa (sekarang pun masih), idealime jurnalis kampus memang sedang tinggi-tingginya. Mereka membayangkan ketika sudah terjun ke media professional, idealisme di pers kampus akan terbawa. Sayangnya, media kampus dengan media mainstream sangatlah berbeda. Dalam banyak hal, media kampus menjadi miniatur dari sebagian kecil konsep media masa. Sebagian besar

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s

Purwokerto dan Secuil Cerita Lama

Jumat (27/05) lalu saya mengawali solo trip saya ke Purwokerto. Rencananya, saya hendak mengikuti sebuah event workshop jurnalis yang diadakan oleh Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman). Saya merasa beruntung, karena menjadi salah satu bagian dari peserta yang jumlahnya hanya 20 orang. Dibanding mereka yang sudah senior dan menjadi wartawan profesional, saya tentu tidak ada apa-apanya. Banyak yang saya dapatkan dari mengikuti workshop sejuk tersebut. Mulai dari pemberangkatan sampai pulangnya, hampir tidak ada yang saya keluhkan. Barangkali, penyesalan saya hanya terletak pada kebodohan saya karena membeli makanan di kereta yang harganya tidak wajar bagi mahasiswa pas-pasan seperti saya ini.  Dari berangkat, saya sendiri baru kali pertama ini naik kereta. Saya pun sudah mendapat pengalaman bagaimana caranya memesan tiket sampai memilih tempat duduk. Ternyata, naik kereta memang cukup nyaman buat perjalanan jauh.  Dari situ pula, saya juga merasakan bagaimana naik angkot bus kota,

Merawat Tradisi “Kemesraan” Berproses

foto: Fschfess.id Setiap orang ada masa dan ceritanya masing-masing. Cita-cita, keberhasilan dan kegagalan yang terjadi hanya bagian dari proses kemandirian. Merasa terpuruk dan menyalahkan diri tidak akan mengubah keadaan. Semua harus dihadapi dengan penuh percaya diri. Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari Paradigma. Sebuah tradisi mesra yang sedikit tergantikan. Tentang sebuah rutinan kecil yang biasa dilakukan oleh para pelaku sejarah paradigma di masa lampau. Saya boleh menyebutkan sebagai tradisi kemesraan berproses. Perihal bagaimana mereka tekun dan konsisten untuk mengasah diri, mengembangkan pola pikir serta membangun kesolidan antar punggawa.  Bicara sedikit tentang “Kataman Kata” bila dipecah satu persatu kata akan menjadi “kata man kata.” Teman-teman boleh memaknai ini dengan apa saja. Namun, yang saya tangkap dari cerita beberapa alumni, kegiatan rutinan ramadan di paradigma ini tentunya mempunyai sejarah dan maknanya sendiri.  Dari kata ke kata sepertinya bisa menjadi

"Empan Papan" Sejak Dalam Pikiran

ilustrasi: zsaitsits  "Ternyata, hidup hanya perihal rasan-rasan. Selebihnya, hanya soal nahan dan menyatakan perasaan." Adalah kata yang aku kutip dari kawan lama semasa SMA dulu, yang kini sudah menjadi seorang seniman, sebut saja hisam al-gibran.  Bila dipikir-pikir, ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh mbah hisam, sapaan akrabnya. Sadar atau tidak, kita sendiri sudah terlampau sering menerapkan metode tradisional ini untuk sekadar mengisi atau meramaikan obrolan.  Rasan-rasan kepada siapa saja yang ada dalam pikiran, tanpa butuh waktu lama, mulut kita tak terkendali melontarkan guneman renyah yang meramaikan forum. Perihal apa saja, rasan-rasan kepada tetangga, kawan, dosen, organisasi, masa depan, keluarga, pekerjaan, bahkan kepada awake dewe tak luput dari lingkaran ngerasani. Boleh dibilang efektif boleh juga tidak. Tergantung dari mana sisi yang kita ambil, apakah hanya untuk mengisi obrolan, atau mengambil sisi positif dari metode satu ini. Ambil contoh, awa

Kenapa Buku Bisa Bikin Candu?

Foto: setoncchs.com Bagi sebagian orang, membaca adalah kegiatan yang cukup berat dan menjenuhkan. Sebagian yang lain, menanggap buku sebagai teman bercerita yang asyik untuk menghabiskan waktu. Sejak kecil, kita semua telah dikenalkan dengan buku. Tapi bukan buku bacaan yang kita jumpai di toko-toko buku. Dan seiring perkembangan usia kita, definisi buku menurut setiap orang pasti mengalami perkembangan. Ketika kecil, kita sudah dikenalkan dengan yang namanya Al-Qur'an bagi orang Islam, sejak madrasah atau tpq sudah diajarkan membaca huruf-huruf arab. Beranjak sedikit besar, kita mengenal komik, buku pelajaran, buku tulis, buku gambar. Saat itu kita mengira buku hanya berisi tulisan berlembar-lembar, dan sedikit gambar untuk memperjelas maksud tulisannya.  Kita tidak tertarik untuk mengamati isi buku, siapa penulisnya, dan untuk apa itu dibuat. Apalagi, buku paket pelajaran menjadi sesuatu yang tidak disukai oleh kebanyakan anak-anak karena saking banyaknya yang harus dibawa tiap

Sudut Pandang Air di Mata Manusia

Manusia diciptakan dari air, sepertiga tubuhnya adalah air, dan manusia bertahan hidup juga dengan air. Manusia tidak bisa hidup tanpa air.  Menjadi menarik ketika baru-baru ini kita sedang dihebohkan dengan permasalahan kelangkaan minyak di tanah air. Kita tahu, akibat inflasi yang berkepanjangan di dunia, harga minyak goreng di Indonesia dan berbagai kebutuhan pokok lainnya ikut naik. Lantas, apa kaitannya air dengan minyak goreng? Sepertinya kita perlu memandang dari sisi yang berbeda, dan menyepakati bahwa minyak adalah salah satu jenis air. Jika permasalahan minyak goreng yang langka saja bisa menimbulkan berbagai konflik dan permasalahan di masyarakat, lalu bagaimana ketika yang menjadi langka adalah sumber air? Sebagai warga negara di Indonesia, kita termasuk beruntung karena tinggal di tempat yang notabene tidak kesulitan mencari sumber air bersih. Kebutuhan harian seperti mandi, mencuci, memasak, dan sebagainya dapat berjalan baik dengan adanya sumber air di sekitar kita. Baik

Ramai-Ramai Menyoal Demo Mahasiswa

Tiba-tiba saya teringat aksi demo yang dilakukan ratusan mahasiswa Kudus di depan pendopo hari ini (12/04). Masa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kudus Menggugat (AMUG) ini melancarkan demo dengan beragam tuntutan. Dari keterangan yang saya dapat, mereka menuntut kenaikan PPN yang menjadi 11%, penundaan pemilu atau perpanjangan 3 periode, atau kestabilan harga BBM dan bahan pokok. Dalam hal ini, saya tidak akan mendiskreditkan diri saya apakah saya mendukung demo tersebut atau menolaknya. Bagi saya, setiap dari mereka pasti mempunyai keyakinan masing-masing untuk memilih melakukan demo tersebut atau hanya duduk di rumah.  Saya cukup kaget dengan euforia demo yang cukup ramai tersebut. Meskipun sedang bulan puasa ramadan, kehadiran masa aksi dari berbagai mahasiswa Kudus ini cukup menunjukkan bahwa semangat memperjuangkan demokrasi itu masih ada. Dari beragam tuntutan yang diperjuangkan, bisa dikatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang peduli terhadap ketidakadilan yang terja

Sebuah Catatan Kusam untuk Jejak Digital

Alasan sederhana mengapa saya membuat blog ini adalah saya hanya ingin membuat jejak digital yang kelak bisa say abaca kapan saja. Blog yang berisi tulisan-tulisan tidak begitu penting ini barangkali akan mengingatkan saya pada suatu momen ketika berposes. Mungkin suatu saat, tulisan-tulisan ini juga sebagai pengingat saya, bahwa saya pernah ada dan pernah merasakan pengalaman-pengalaman yang begitu menyenangkan, menyedihkan, perasaan biasa saja, dan dan apa pun itu. Beberapa orang tentu mempunyai cara yang berbeda untuk menyimpan kenangannya. Seperti halnya saya, yang lebih suka mengabadikan momen ke dalam sebuah tulisan. Tidak ada hal yang penting di dalam blog ini, saya tidak ingin mengganggu waktu berharga kalian hanya untuk menggulir tulisan-tulisan saya di sini. Blog ini bebas untuk siapa saja, dan tentunya jika kalian ingin memberikan masukan, saran atau sebagainya, tentunya sangat akan sangat berterima kasih. Blog ini berisi apa saja yang pernah saya rekam dalam pikiran.

Mental illness Mahasiswa Milenial

foto: istock.com Momen tes akhir semester atau UAS sepertinya memang menjadi momok bagi sebagian mahasiswa. Tak jarang saking sulit dan banyaknya tugas yang diberikan dosen memancing mereka untuk sambat dan pansos di laman media sosial. Kita tentu sering mendapati mereka (mahasiswa) berujar "tugasnya berat banget, pengen nikah aja", "semester 5 gini amat", atau quotes-quotes sejenisnya yang seakan menunjukkan beratnya tugas yang dikerjakan. Kalo dipikir-pikir lucu juga, bagaimana bisa mahasiswa membebankan tugas pada hal yang sama sekali tidak memecahkan masalah mereka.   Dalam artian gini, apakah ketika dia menikah ujug-ujug, mak bedunduk, simsalabim tugas mereka langsung kelar? Atau seandainya dia menikah betulan apakah dosen seketika langsung menarik tugas yang sudah diberikan? Nihil, mau nikah atau tidak, sebagai mahasiswa seharusnya ia tahu konsekuensi dari pilihannya, dong? Bahkan hal ini saya temui hampir di seluruh tingkatan, entah itu semester awal yang not

Hindia dan Lagu-Lagunya yang Related Banget Sama Hidup Gue

Setiap orang mempunyai cara yang berbeda untuk mengekspresikan perasaannya. Alur hidup yang itu-itu saja terkadang membuat kita ingin merasa sambat, teriak, dan berusaha menyerah pada hidup. Tentu saja, kita perlu beranjak atau rehat sejenak dari rutinitas harian yang menyibukkan. Mencari suasana berbeda dan melakukan healing untuk merefresh otak dan pikiran agar lebih segar. Healing bisa diisi dengan kegiatan apa saja, seperti makan, pergi ke tempat favorit, jalan-jalan, dengerin musik, dan sebagainya. Bagiku, dengerin musik favorit bisa jadi cara healing yang cukup efektif. Praktis dan tidak butuh banyak biaya. Kita hanya butuh kuota internet dan headset atau speaker buat nyetel musik favorit kita. Salah satu musik favoritku adalah lagu-lagu dari grup band Hindia. Siapa sih yang tak kenal grup band ini? Yaa, Grup band yang berhasil menghipnotis kalangan muda dengan lagu-lagunya yang sangat related dengan kehidupan. Bukannya berlebihan, akan tetapi setiap saya putus asa dan ingin meny

Puasa dan Gelanggang Dunia Maya

Terjebak dalam situasi dan keadaan yang menyenangkan terkadang bisa membuat seseorang mengalami kemandekan. Melakukan rutinitas yang tidak begitu penting --bermalasan, rebahan, game, sosmed-- barangkali bisa bisa membuat kita tidak sadar, semua itu sedikit demi sedikit menghancurkan hidup kita. Beberapa tahun terakhir, saya sendiri merasa seakan terjebak dalam gelanggang dunia maya dan gadget. Perasaan tidak bisa produktif dan kejenuhan pun saya limpahkan untuk bermain game dan sosmed. Satu sisi, game dan pernak-pernik media sosial memang menyenangkan untuk dilakukan, bisa menghilangkan rasa gabut dan bosan saat bingung melakukan sesuatu. Tapi, di sisi lain, kesenangan yang ditawarkan membuat saya kecanduan, tidak bisa lepas, dan menggerogoti aktivitas produktif saya. Momentum puasa bisa menjadi momen tepat untuk memulai perubahan. Puasa di sini bukan hanya diartikan menahan makan dan minum saja, tetapi bagaimana kita bisa menahan hal-hal yang membuat diri kita menjajali kesenangan sem

Tentang Pemuda Lemah yang Banyak Tingkah

Foto: hipwee Kawula muda sering dengan idealisme dan semangatnya yang masih membara. Tak sedikit gagasan dan disalurkan memunculkan banyak perubahan. Di sisi lain, tak sedikit pula banyak pemuda yang patah arang. Bayangannya tentang masa depan di masa Quarter Life Crisis (QLC) membuat mereka mudah terbawa arus, suka overthinking dan terlampau berlebihan dalam menanggapi suatu hal. Perayaan tahun baru 2022 sudah terlewat. Namun, tak ada salahnya jika saya mengulas sedikit tentangnya. Sepertinya, banyak dari kita yang terlalu euforia menyambutnya. Pelbagai agenda dilaksanakan di malam tahun baru itu. Bercengkrama, berkumpul, bakar-bakaran, camping, touring sampai healing-healing pun dirayakan. Sekadar nostalgia atau temu kangen untuk mengambil jeda dari kesibukan harian dan badai pandemi covid-19 yang membosankan. Padahal tahun baru tak lebih dari perubahan angka di kalender. Lantas apa yang orang-orang begitu antusias menyambut tahun baru? Momentum tahun baru biasanya digunakan untuk me

Tidak ada salahnya menjadi mahasiswa kupu-kupu

Foto: mojok.co Setiap orang mempunyai tujuan dan alasan untuk menjalani hidupnya sendiri. tak usah ambil pusing mengusik kehidupannya dengan mengomentari pilihan yang mereka ambil. Beberapa bulan sebelum adanya pandemi, kala itu perkulahan masih aktif. Banyak orang lalu lalang di kampusku, rapat-rapat masih berjalan di setiap organisasi, kumpul-kumpul, njagong, suasana keramaian kehidupan kampus yang masih terbayang di kepala dan sampai sekarang selalu kurindukan. Di sebuah kantin dinamai pemilik warungnya kantin Adem Ayem, tak sengaja saya mendengar dua obrolan mahasiswa yang cukup menarik perhatian saya. Sebut saja Toyib dan si Apatis. si Sibuk dan si Apatis ini dua mahasiswa satu jurusan, satu kelas malah.  Mereka cukup berteman baik, bisa dilihat dari cara si Sibuk ini memesankan nasi rames lengkap dengan es teh manisnya untuk si Apatis. Si Sibuk ini sudah akrab betul dengan pemilik warungnya, maklumlah, hampir setiap hari waktunya ia dihabiskan di kampus, mulai dari makan, kuliah,

Ternyata Saya Bisa Kuliah Juga

Berbicara soal proses, satu hal yang tak banyak saya lirik dari diri sendiri, dari kecil sampai sekarang, saya rupanya masih kurang mensyukuri apa yang telah saya capai selama ini. Seringkali saya membandingkan diri saya yang sekarang dengan pencapaian orang lain yang jauh lebih sukses, lebih berpengalaman, lebih pintar dan lain-lain. Namun, saya kurang melihat diri saya yang dulu dan sekarang. Ketika masih sekolah, saya sangat mendambakan kuliah. Bagi saya dulu, kuliah hanya untuk orang-orang yang kaya dan pintar. Sampai akhirnya ketika sepupu saya kuliah di salah satu universitas di Jogja dengan beasiswa, saya kepincut pengin kuliah.  Bagi saya dia memang pintar, dan disokong oleh saudara-saudaranya. Saya yang waktu itu membayangkan bisa kuliah di Jogja hanya bisa gigit jari. Selain memang dari keluarga yang sangat miskin, saya juga tidak pandai, tidak bisa memperoleh beasiswa.  Seperti anak kecil, saya merengek untuk minta kuliah, di mana pun itu. Saya nekat mendaftar kuliah di Sema

Panggung Teater dan Polemik Kampus yang Tak Usai

Foto: dok. panitia Sebagai seorang yang tidak tahu menahu soal dunia teater dan seni peran, saya tidak akan berkomentar banyak terkait bagus atau tidaknya pentas produksi “Sumur Tanpa Dasar”  yang dipentaskan oleh UKM Teater Satoesh IAIN Kudus. Tulisan ini hanya akan saya jadikan sebagai refleksi bagi diri saya sendiri, bagaimana saya bisa mendapatkan “bekal” dari apa yang telah saya tonton dari pementasan tersebut. Pada Sabtu (26/03/2022) kemarin, Teater Satoesh mementaskan sebuah karya dari naskah populer berjudul “Sumur Tanpa Dasar” di Gedung Auditorium Universitas Muria Kudus. Naskah yang kita tahu merupakan adopsi dari karya Arifin C. Noer, seorang penulis naskah dan seniman kondang dalam dunia teater. Bicara soal pementasan tersebut, saya sedikit menangkap pesan dari yang dibawakan oleh sutradara. Pentas bergenre surealisme yang diterapkan dalam dunia kampus, menyoal tentang bagaimana si pemeran utama, Jumena yang menjadi pemilik Yayasan sebuah kampus memiliki berbagai sifat dan

Krisis Kemanusiaan dalam UU ITE

foto: hasyim Judul         : Matinya Kebebasan Berpendapat; Ketika Para Korban UU ITE Bertutur Penulis      : Zakki Amali, dkk Penerbit    : Parist Penerbit Cetakan    : Pertama, Juni 2021 Tebal        : xiv + 174 halaman ISBN        : 978-602-0864-78-5 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi bukti bahwa pelaksanaan hukum orde baru masih terbawa sampai sekarang. UU ITE seperti semacam pisau bermata dua, menjadi bumerang, atau bola api yang bisa menyerang siapa saja. Terbukti, kisah para korban yang ditulis di buku ini mengubah 180 derajat hidup mereka, dari kehidupan normal dan tenang, berubah menjadi penuh tekanan dan masalah. UU ITE juga menunjukkan bahwasanya sesama manusia bisa menyakiti hanya karena masalah kecil. Meski tidak mengenal pelapor, atau secara tidak bermaksud menyakiti pihak manapun, nyatanya bisa dikasuskan. UU ITE juga menjadi titik api krisis kemanusiaan yang diprediksi akan semakin langka. Dikisahkan dalam buku ini kasusnya