foto: Fschfess.id |
Setiap orang ada masa dan ceritanya masing-masing. Cita-cita, keberhasilan dan kegagalan yang terjadi hanya bagian dari proses kemandirian. Merasa terpuruk dan menyalahkan diri tidak akan mengubah keadaan. Semua harus dihadapi dengan penuh percaya diri.
Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari Paradigma. Sebuah tradisi mesra yang sedikit tergantikan. Tentang sebuah rutinan kecil yang biasa dilakukan oleh para pelaku sejarah paradigma di masa lampau. Saya boleh menyebutkan sebagai tradisi kemesraan berproses. Perihal bagaimana mereka tekun dan konsisten untuk mengasah diri, mengembangkan pola pikir serta membangun kesolidan antar punggawa.
Bicara sedikit tentang “Kataman Kata” bila dipecah satu persatu kata akan menjadi “kata man kata.” Teman-teman boleh memaknai ini dengan apa saja. Namun, yang saya tangkap dari cerita beberapa alumni, kegiatan rutinan ramadan di paradigma ini tentunya mempunyai sejarah dan maknanya sendiri.
Dari kata ke kata sepertinya bisa menjadi gambaran yang cukup sederhana untuk memaknai ini. Sebuah kegiatan yang cukup unik dan berbeda di antara para mahasiswa pada umumnya. Sejak dulu. Dari kata ke kata, kalimat ke kalimat, paragraf ke paragraf, hingga menyusun sebuah tulisan yang sudah menjadi tradisi kita. paradigma memang selalu mempunyai cara yang berbeda untuk mewacanakan sebuah gagasan. Hanya lewat kata, senjata yang paling ampuh yang menjadi pondasi awak paradigma, dan itu yang menjadi ciri khas kita.
Sebenarnya, esensi dari kataman kata hanyalah bagaimana kita pada kebiasaan berproses secara bersama-sama (menulis). Entah itu menulis esai, opini, atau resensi bagaimanapun hasilnya. Saya kira, semua alumni tidak akan mempermasalahkan sejelek apapun tulisan kita. Karena yang terpenting (menurut mereka) adalah bagaimana kesadaran diri kita untuk merawat tradisi tersebut, tentang prosesnya, semangat belajarnya, atau kemauan untuk berprogres.
Sepertinya kita memang perlu sedikit merenung. Meskipun tidak semua anggota dibekali kemampuan menulis yang cukup, akan tetapi bagi saya kesungguhan untuk belajar menulis itu sudah lebih dari cukup. Anggap saja ini sebagai tanggung jawab teman-teman sebagai mahasiswa, apalagi sudah menyatakan diri sebagai orang paradigma.
Apa yang disampaikan mas Farid tadi sore juga mengingatkan saya tentang cerita dan cita-cita dari para alumni lainnya. Bagaimana membuat paradigma menjadi pusat keilmuan di lingkungan kampus. Bagaimana mungkin sebuah organisasi bisa berdikari dan mandiri jika tidak diperkuat dari anggotanya di segala lini? Meskipun kalau ditelaah lebih jauh, saya yakin permasalahan di setiap tahunnya hampir sama, barangkali ini perlu dicermati dari tahun-tahun sebelumnya agar kesalahan yang sama tidak lagi diulangi.
Mendapu diri menjadi yang paling berperan atau yang paling merasa jadi korban tak lantas membuat kita berkembang. Solusi terbaik hanya dengan sadar diri dan memperbaiki. Meskipun tidak mudah karena setiap orang punya karakter dan pemikiran masing-masing, mengawali dari diri sendiri bukan pilihan yang sulit. Karena satu-satunya cara memerintah tanpa memerintah hanya lewat contoh dan keteladanan. Siapapun itu, setiap orang di paradigma mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar. Tinggal bagaimana kita mau bergerak atau tidak.
Saya sangat berharap teman-teman di paradigma saat ini masih mempunyai keinginan untuk belajar --menulis, diskusi, olah pikir, olah wacana, analisis, adu gagasan atau apapun itu—karena bagaimanapun, paradigma tidak bisa diposisikan seperti halnya organisasi yang lain. Seberapa besar keinginan kita untuk belajar dan bergerak, itulah yang akan kita dapat.
“Satu-satunya cara untuk memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.”
- Walt Disney
Kudus, 25/04/2022
Hasyim Asnawi
Komentar
Posting Komentar