Langsung ke konten utama

Wartawan dan Idealisme yang Diperdagangkan


Saya pikir menjadi wartawan itu asyik dan menantang. Apalagi, ketika melihat mereka terjun ke lapangan, melakukan reportase, wawancara narasumber dan menuliskan sebuah peristiwa menjadi berita. Bagi orang awam, memang pekerjaan itu terlihat keren. Namun setelah saya sendiri merasakan dunia jurnalis selama 6 bulan ini, bayangan saya di dunia wartawan ternyata tak semuanya indah.

Bicara soal dunia kewartawanan, semenjak bergabung di Lembaga pers kampus, saya memang tertarik menggeluti bidang itu. Di sana, saya belajar banyak hal; jurnalisme, kode etik, idealisme, independensi pers, dan lainnya. maklum saja, ketika masih menjadi mahasiswa (sekarang pun masih), idealime jurnalis kampus memang sedang tinggi-tingginya. Mereka membayangkan ketika sudah terjun ke media professional, idealisme di pers kampus akan terbawa.

Sayangnya, media kampus dengan media mainstream sangatlah berbeda. Dalam banyak hal, media kampus menjadi miniatur dari sebagian kecil konsep media masa. Sebagian besar lainnya, akan dirasakan sendiri ketika sudah terjun di sana. Misalnya saja, di media masa kita yang dituntut bekerja secara professional memang untuk tujuan profit. Contohnya perihal bisnis marketing, penugasan iklan, tuntutan target, idealisme media (jika ada), koordinasi dengan  rekan kerja, dan tuntutan-tuntutan lainnya.

Kita yang bekerja di media tak bisa sepenuhnya membawa idealisme pribadi ke dalam pekerjaan kita. Hal ini yang saya rasakan sendiri. Di awal-awal, memang saya menggebu-gebu mengikuti penugasan, mengerjakan berita iklan atau advertorial, mengikuti saran redaksi, hingga terpengaruh dengan kebohongan-kebohongan di dunia jurnalisme. Mungkin saja, saya yang masih polos saat itu, hanya terlalu terbawa arus dengan rekan-rekan wartawan lain. Sehingga cara-cara yang sebetulnya tidak dibenarkan dalam jurnalistik saya lakukan.

Memang tuntutan bisnis media memaksa wartawan untuk menurunkan idealismenya. Pasalnya setiap wartawan yang ditugasi membuat 4-5 reportase dalam sehari. Bayangkan saja, bagaimana mereka bisa memperoleh data tanpa harus terjun ke lapangan. tuntutan itu mereka akali dengan berbagai cara. Misalnya berbagi catatan dengan rekannya, wawancara by phone, hingga saling tukar rilis berita.

Belum lagi, hal yang justru mengagetkan bagi saya adalah munculnya wartawan-wartawan bodrek yang menagih imbalan kepada narasumber. Jelas ini adalah akal-akalan wartawan untuk mendapatkan penghasilan lebih dengan memanfaatkan privilese nya sebagai jurnalis. Pekerjaan jurnalis yang digembor-gemborkan sebagai penyambung lidah masyarakat ibaratnya hanya dijadikan kedok dan topeng untuk menutupi akal bulusnya.

Memang, tak semua wartawan bersikap demikian. Masih banyak wartawan yang memegang idealismenya sebagai jurnalis. Barangkali hanya beberapa wartawan yang tak memahami kode etik jurnalistik. Meskipun mereka sudah mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW), namun saya pikir, kode etik bukan hanya untuk dihafalkan, melainkan untuk diamalkan dalam kesehariannya. Kode etik mustinya menjadi pedoman yang harus dipegang setiap wartawan.

Setelah bulan depan saya diputuskan untuk tidak lagi bekerja di salah satu media local, saya berpikir-pikir apakah nanti akan terjun di dunia media lagi atau tidak. Saya masih mencari tahu, sebenarnya apakah semua media hanya bertuju pada profit dan bisnis semata. Apakah tidak ada media satu pun yang masih mengemban nilai-nilai jurnalisme. Apakah ada media yang bisa saya kompromikan dengan idealisme yang diajarkan di Lembaga pers kampus. Adakah media yang juga bisa mendukung progress dan pengembangan saya sebagai jurnalis.

Sebetulnya, saya sendiri juga tak ingin dibilang sok idealis. Terlebih di dunia media, saya masih seumur jagung dan baru beberapa bulan merasakan dunia wartawan. Bayangan saya ketika berkumpul dengan rekan-rekan media lain rupanya tak sesuai dengan yang saya harapkan. Tak ada diskusi-diskusi rutin yang membahas media, jurnalisme, atau isu-isu yang bisa disuarakan. Mereka hanya berkutat pada pekerjaan. Pembahasannya pun seragam dan terkadang menjenuhkan. Obrolannya juga itu-itu saja; besok liputan apa, bahas pekerjaan, membandingkan media masing-masing. Tak ada pembahasan lain yang lebih mengasyikkan untuk diobrolkan. Memang benar, fokus mereka hanya di pekerjaan, apalagi bagi wartawan yang sudah berumur dan mempunyai tanggungan anak. Tak heran hanya fokus di pekerjaan dan bagaimana mendapat uang untuk kebutuhan keluargaa.

Saya tak mengatakan hal itu buruk. Karena setiap orang mempunyai fokus dan tujuannya masing-masing, baik dalam pekerjaan, komunitas atau kegiatan lainnya. Hanya saja, selagi masih muda, bukankah kita harus punya idealisme dan target yang harus dicapai. Jika memang tak memberikan impact dan progress yang baik bagi saya, kenapa saya harus terpaksa terjebak di lingkungan yang sama dalam waktu lama. Intinya tak perlu munafik, menjalin pertemanan dan jaringan itu penting. Akan tetapi, jangan sampai kita hanya terbawa arus dan tidak mempunyai prinsip dalam menentukan pilihan.

Kehilangan pekerjaan, dijauhi teman, menjadi bahan obrolan orang sudah menjadi risiko dalam setiap pilihan. Tak perlu risau, cukup fokus meningkatkan value diri kita dan mencari banyak pengalaman. Sembari menikmati dinamika perjalanan hidup dan menebar kebaikan ke banyak orang. Satu hal yang perlu diyakini, tetaplah berprogres tanpa melihat pencapaian orang lain.

 

Kudus, 15/11/2022

 

Hasyim Asnawi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Mewujudkan Kesadaran Literasi Digital di Era Global

Kemajuan teknologi semakin pesat, memudahkan semua orang untuk mengakses segala informasi setiap saat. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan kemajuan perkembangan media digital. Berbagai media kini mengembangkan situs online nya untuk mengikuti trend sekarang, biar tidak ketinggalan zaman.   ada pula media yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, dengan memberitakan atau menyampaikan informasi menurut ramainya pasaran. Hoax? Majunya teknologi harus diimbangi dengan majunya pemikiran dan juga kehati-hatian. Mudahnya informasi beredar tak khayal juga memudahkan hoax dan berita bohong kian menyebar. Pentingnya pengetahuan berliterasi dan bermedia sosial harus kita biasakan sejak sekarang. Biar tak mudah terjebak isu-isu yang beredar atau polemik yang sedang viral. Upaya penangkalan hoax sebenarnya sudah digemparkan sejak lama. Namun tak sedikit pula yang masih mudah terjebak dan termakan berita palsu tersebut. Rendahnya pengetahuan literasi masyarakat di Indonesia inilah yang mem

Sosiawan Leak dan 100 Puisi di Malam Purnama

  Panggung Ngepringan Kampung Budaya Piji Wetan Kudus dibuat riuh kebanjiran kata. Jumat (10/3/2023) malam, sastrawan, budayawan hingga para pemuda pegiat sastra saling melantunkan bait-bait puisi di malam purnama. Agenda itu bernama “Persembahan 100 puisi untuk 1 abad NU”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU IPPNU Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dan Kampung Budaya Piji Wetan. Acara malam itu menjadi bukti, bahwa eksplorasi budaya perlu dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Acara yang dimulai dengan rangkaian lomba seperti pidato, puisi, hingga pemilihan duta pada siang harinya, kemudian ditutup dengan perayaan pentas puisi di Panggung Ngepringan. Hadir pula di tengah-tengah acara, camat Kecamatan Dawe Famny Dwi Arfana dan sastrawan terkemuka Sosiawan Leak. Usai 10 finalis lomba puisi membacakan karya puisinya, diikuti pementasan puisi Koko Prabu bersama timnya, Koordinator KBPW Jessy Segitiga yang membacakan puisi anaknya, Eko Purnomo dengan

Catatan Lepas

foto: finansialku.com Selasa, 1 November 2022, adalah hari yang cukup mengagetkan bagi saya. Hari itu, saya dipanggil oleh kantor redaksi untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan. Kabar itu sudah santer di lingkungan kantor, dan akhirnya saya harus memenuhi panggilan kantor sebagai bentuk tanggung jawab saya. Hasil pertemuan itu memutuskan, saya untuk satu bulan ke depan ini sudah beralih status menjadi kontributor di lingkar Jateng. Keputusan tersebut tentunya harus saya terima dengan lapang dada. Karena atas perbuatan saya sendiri yang memang salah, yakni menyabang di dua media sekaligus. Meskipun media yang satunya bukan merupakan media mainstream, namun media tetap media. Belum lagi, keteledoran saya yang mengirimkan tulisan ke dua media tanpa proses editing sedikitpun. Memang, saya seperti mempermainkan media yang sudah menerima saya dan menjadi pijakan saya beberapa bulan ini. Sebenarnya saya tak masalah, toh memang saya tidak punya niatan untuk bertahan lama di s