Jumat (27/05) lalu saya mengawali solo trip saya ke Purwokerto. Rencananya, saya hendak mengikuti sebuah event workshop jurnalis yang diadakan oleh Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman). Saya merasa beruntung, karena menjadi salah satu bagian dari peserta yang jumlahnya hanya 20 orang. Dibanding mereka yang sudah senior dan menjadi wartawan profesional, saya tentu tidak ada apa-apanya.
Banyak yang saya dapatkan dari mengikuti workshop sejuk tersebut. Mulai dari pemberangkatan sampai pulangnya, hampir tidak ada yang saya keluhkan. Barangkali, penyesalan saya hanya terletak pada kebodohan saya karena membeli makanan di kereta yang harganya tidak wajar bagi mahasiswa pas-pasan seperti saya ini.
Dari berangkat, saya sendiri baru kali pertama ini naik kereta. Saya pun sudah mendapat pengalaman bagaimana caranya memesan tiket sampai memilih tempat duduk. Ternyata, naik kereta memang cukup nyaman buat perjalanan jauh.
Dari situ pula, saya juga merasakan bagaimana naik angkot bus kota, trans, hingga memesan ojek online. Sungguh, selama ini saya memang jarang ke luar kota, kalo bahasa anak sekolah, dolane kurang adoh.
Namun, yang terpenting dari itu semua, adalah pengalaman selama tiga hari berkegiatan di sana. Saya dapat berkumpul dan ngobrol bersama kawan-kawan jurnalis dari berbagai media di Jawa Tengah. Bertemu dedengkot-dedengkot di lpm pada masanya. Mendengar ceritanya saja, saya sudah bisa menebak, progres mereka pasti luar biasa semasa masih menjadi mahasiswa.
Dari berbagai materi yang disampaikan dalam workshop, saya juga cukup menangkap banyak perspektif baru soal keberagaman dan gender. Ternyata kaum minoritas yang terdiskriminasi dan termarjinalkan itu masih ada, atau barangkali tanpa disadari ada di sekitar kita.
Bicara soal materi-materi barusan, agaknya memang perlu dipahami betul oleh para jurnalis. Bagaimana pewarta tidak hanya memberikan informasi berita saja, tetapi juga perlu memerhatikan etika dan perilaku jurnalistik secara mendalam. Lebih-lebih, memahami bagaimana pedoman dalam peliputan jurnalisme keberagaman. Kurang lebih, seperti itu inti yang saya tangkap dari banyak materi yang disampaikan.
Meskipun, fakta di lapangan tidak selalu berbanding lurus dengan teoretis tersebut, paling tidak ini sudah menjadi bekal bagi teman-teman yang mengikuti workshop. Apalagi, ketika kita masih menjadi mahasiswa, tentunya harus mempunyai idealisme terkait esensi jurnalisme itu. Dan hal ini yang harus terus dipegang oleh kawan-kawan pers mahasiswa
Karena, pada waktu ketika kita sudah purna sebagai pers mahasiswa atau sudah lulus, kita akan dibenturkan oleh realitas yang harus berkompromi dengan idealisme kita. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, visi yang tidak sejalan, kondisi ekonomi yang berbeda, atau stabilitas menjaga dapur biar tetap ngebul yang tidak bisa diprediksi. Mau tidak mau, media dan jurnalis harus berkompromi, asalkan tidak secara sporadis melanggar etika jurnalistik dan hanya bertuju pada profit semata.
Komentar
Posting Komentar