Mau kemana-mana sendiri, makan
sendiri, ngerjain tugas sendiri, sekalinya ada temen, pasti cewek. Bisa-bisa
karena sering kumpul dengan cewek malah saya bisa dianggap aneh.
Yaap, saya mengalaminya sendiri.
Satu-satunya mahasiswa laki-laki di kelas D jurusan PGMI di IAIN Kudus, salah
satu perguruan tinggi di Kudus yang mewah banget; mepet sawah
Jurusan PGMI, hampir satu rumpun
dengan jurusan PGSD di Perguruan Tinggi umum. Memang di kampus saya agak
berbeda, sejak dibukanya program studi tersebut semenjak tahun 2013, prodi ini
hampir setiap tahun selalu minim peminat, terkhusus; laki-laki. Entah mengapa,
padahal setiap jurusan tidak membatasi jumlah minimal-maksimal mahasiswa
laki-lakinya berapa, tetapi terus saja jurusan PGMI sering dicap sebagai
jurusan khusus mahasiswi.
saya pun tidak tahu kenapa saya
bisa kuliah di jurusan ini? Awal cerita si seperti kebanyakan anak SMA umumnya,
memilih jurusan karena ajakan teman, saran dari kerabat dan orang tua, atau
asal pilih jurusan yang penting bisa kuliah, begitulah kira-kira alasanku waktu
itu. Memilih jurusan yang tidak saya
minati, tidak tahu berpotensi disana atau tidak, yang penting bisa kuliah,
kayak temen-temen yang lain gitu.
Sebenarnya sih tidak apa-apa, lha
wong tak kira kayak jurusan-jurusan lain, banyak temen cowoknya. Lah ini malah,
baru masuk aja cowoknya cuma dua, langsung downdeh semangatku buat
kuliah kala itu.
Okelah, beberapa minggu kuliah saya
mulai terbiasa, menjalani kuliah di semester awal, seperti maba-maba pada
umumnya, masih polos gitu. Saking polosnya, saya juga bergabung ke organisasi
pergerakan, biar dibilang keren, jadi aktivis. Saya pun diiming-imingi
prestasi, pengalaman, mental, dan ungkapan
“mahasiswa sebagai agentofchange”, yang selalu digunakan mereka
saat orasi, akhirnya saya terpincut bergabung dengan organisasi itu.
Dengan tujuan awal pengen cari
temen, sambil gabung beberapa organisasi, belum ada yang nyaman dan sefrekuensi
denganku.. Sampai beralih ke semester tiga, temenku laki-laki malah putus
kuliah, alasanya kerja. Saya semakin asing dengan jurusan dan kampusku sendiri.
Semester tiga dan awal semester
empat inilah saya yang merasa berada di titik nol, hampir putus asa karena
nggak ada semangat untuk melanjutkan kuliah. Meskipun beberapa teman kelas mensupport
saya untuk melanjutkan, namun tak ada yang berhasil membangkitkan
semangatku. Saya merasa sepi dalam
keramaian, ramai dalam kesepian, seperti lagu Hindia, ramai sepi bersama.
Seberapa jauh dari sini....Tembok-tembok ini tak
berarti….
Udah, cukup intronya.
Minoritas
Menjadi minoritas dalam kelas
memang nggak buruk-buruk amat, tetapi juga tidak bisa dibilang baik-baik saja
sih. Merasa tidak nyaman di kelas sendiri, setiap perkuliahan pengennyacepet
selesai jam kuliahnya. Alasan utamanya si bukan karena gak suka makulnya, tapi
ya memang di kelas gak ada lawan bicara sesama cowok.
Mungkin kalian bisa berdalih, temen
cewek kan banyak tuh, banyak bicara malah. Bagi saya, kalau sudah merasa gak
sefrekuensi ya gak bakal nyambung, beda topik lah pembahasan cowok-cewek.
Alhasil saya pun kebanyakan diam di
kelas, jarang menanggapi, tidak aktif berdiskusi, anut-anutan lah pokoknya.
Hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu, habis kuliah langsung cepat-cepat cabut
keluar kelas. Keadaan ini saya rasakan sejak semester 3, hingga kini saya udah
semester 7, dua tahun cuyy, kamu kuat nggakk….
Titik terang
Sesulit apapun keadaan, Tuhan tidak
akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuan. Inilah yang terus saya pegang sampai
sekarang. Saya percaya dibalik ini semua
pasti ada hikmahnya. Bukan hikmah tetangga sebelah yaa.
Kalau saya hanya mengeluh, tanpa
berbuat sesuatu, bukan tidak mungkin waktu empat tahun kuliah menjadi sia-sia.
Menjadi pecundang yang hanya bisa mengolok-olok nasib, dan menghardik keputusan
Tuhan.
Percayalah, ini adalah takdir yang
sudah digariskan Tuhan, kita hanya cukup berusaha dan melakukan tugas sebagai
umatnya. Tapi juga harus survive dengan keadaan sehingga kita bisa
menemui titik terang.
Dan benar, semester empat aku
bergabung dengan UKM bidang jurnalistik dengan alasan awal untuk mencari teman.
Sambil menyelam minum air, saya nggak menyangka organisasi inilah yang merubah
pemikiranku. Saya yang awalnya tidak
mempunyai tujuan yang jelas ketika kuliah kini mulai berpikir kedepan, saya
yang semula nggak punya teman sekarang udah mulai kenal orang-orang dari
berbagai jurusan. Di UKM ini juga saya menemukan passion dan
ketertarikan saya di bidang jurnalistik.
Jadi, sangat penting untuk merenungkan
apa yang kita alami sekarang. Apapun itu, pahit manis, susah senang harus kita
renungkan baik-baik. Setiap peristiwa yang dialami pasti ada maksud dan
manfaatnya, kalau nggak sekarang, mungkin besok. Intinya selalu percaya pada
Tuhan, nggak mungkin tuhan menyengsarakan umatnya yang patuh, dan jangan lupa
untuk bersyukur, syukurin....syukurin…..
Komentar
Posting Komentar